Tuesday, November 18, 2014

Irfan Sallahudin Putra


PERKEMBANGAN DAN ALIRAN FILSAFAT KONTEMPORER
ABSTRAK
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Begitu pula dengan filsafat, dalam perkembangannya filsafat dibagi menjadi 4 babakan yakni Filsafat klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M dominasi oleh rasionalisme. Filsafat abad pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M didominasi dengan doktrin-doktrin agama Kristen. Filsafat modern dan filsafat kontemporer yang didominasi kritik terhadap filsafat modern.
Pada zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat. Seluruh pengembangan tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pemikiran pada periode ini memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh Habermas bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.
Dalam makalah ini penulis akan kemukakan sejarah munculnya filsafat kontemporer sebagai ‘isme’ yang mengritik modernitas, juga akan dipaparkan beberapa tokoh pada periode ini, ajarana-ajaran pokok dan sumbangih pemikirannya terhadap ilmu pengetahuan masa kini.




PEMBAHASAN
FILSAFAT KONTEMPORER
Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social, metodologi (fenomenologi, heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, samapai filsafat tentang perempuan (Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh para filsuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan budaya, social, politik, ekonomi, teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya professional di bidang masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi professional dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka masing-masing (Zaenal, 2011: 124).
Sejumlah filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: Wilhelm Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1858-1941), Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970) dll.
  1. PRAGMATISME
  1. Terminologi Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (bahasa Yunani) yang berarti artinya adalah tindakan atau perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata ( Hakim, dkk, 2008:319).
Pragmatism berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebenaran, jika agama memberikan kebahagiaan. Menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif atau kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemudharatan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran.
  1. Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme
Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Barkeley, dan Hume. Untuk mengetahui lebih jauh ajaran pragmatisme alangka baiknya kita mempelajari tokoh-tokoh yang menpopulerkan dan pandangannya :
  1. C.S. Peirce (1839-1914)
Peirce, seorang matematikus, fisikawan, filosof pendiri aliran pragmatism, dilahirkan di Cambrigde, Massachausetts pada tahun 1839. Peirce mendalami filsafat dan logika hingga masa ia kerja pada instansi survei panata dan geodesi. Sebagai filosof yang sistematik, tulisan-tulisan Peirce mencakup hampir segala aspek filsafat.
Sumbangannya yang terbesar adalah dalam bidang logika, tetapi ia juga secara luas menulis tentang epistimologi, metode ilmiah, semiotics, metafisika, kosmologi, ontology, matematika dan sedikit tentang etika, agama, sejarah, dan fenomenologi. Berbagai buah pemikiran filsafatnya di dalam beberapa system yang merupakan fase-fase perkembangan kematangannnya dalam olah intelektual. Akan tetapi, semua itu menyatu dan menjadi konsep yang utuh.
Karya-Karya Charles Sanders Pierce diantaranya :
  1. Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).
  2. The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992, 1998).
  3. The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I Arithmetic, Volume II Algebra and Geometry, Volume III/1 and III/2 Mathematical Miscellanea, Volume IV Mathematical Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The Hague, 1976).
Pierce banyak memberikan sumbangan pemikiran yang penting bagi filsafat pragmatisme. Diantara sumbangan terpenting pemikiran kefilsafatan pragmatisme pierce adalah theory of meaning sebagai salah satu aspek epistimologi, khususnya implikasinya dalam bahasa. Pragmatism berusaha menemukan asal mula serta hakikat terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun kegiatan tersebut luar biasa sulitnya.
Penganut pragmatism menaruh perhatian pada praktik. Mereka memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup yang berlangsung terus-menerus dan yang terpenting ialah konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi tersebut erat sekali hubungannya dengan makna dan kebenaran.

  1. William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya.
William James (1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang membuat pragmatism menjadi terkenal diseluruh dunia. William James mengatakan bahwa secara ringkas pragmatism adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui (Tafsir, Filsafat Umum: 190).
Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya ia mengalami konflik antara pandangan agam. Ia beranggapan bahwa masalah kebenaran tentang asal tujuan dan hakikat bagi orang Amerika adalah teoritis. James menginginkan hasil yang kongkret (Muzairi,2009:141).
Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan maka ide-ide itu benar.
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), The Sentiment of Rationality (1879), The Dilemma of Determinism (1884), The Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902), Pragmatism (1907), The Meaning of Truth (1909), dll. Karena terbitnya buku, Pragmatism (1907), The Meaning of Truth (1909), gerakan pragmatism meluncur seolah-olah akan menguasai filsafat abad ke-20. Pragmatism lebih banyak disangkutkan dengan James daripada dengan Peirce sekalipun James berhutang banyak pada Peirce dalam mengembangkan pragmatism sebagai suatu metode. James memang berbeda dengan Peirce. Peirce tidak bersedia menggunakan pragmatism dan filsafat ilmiahnya pada masalah penting yang vital seperti maslah agama, moral, atau kehidupan personal. Akan tetapi, justru disinilah filsafat pragmatism James memfokuskan diri. Bagi James kepercayaan bukanlah sekadar aturan-aturan bertindak atau idea yang dengannya kita siap untuk bertindak. Kepercayaan adalah sesuatu yang berguna di dalam membuat sesuatu terjadi, dalam membuat sesuatu pasti benar (Tafsir, 2001:194).

  1. John Dewey (1859-1952)
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial yang  lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Sebagai pengikut filsafat pragmatism, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara praktis.
Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah, jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berfikir merupakan alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan, satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan social dan moral (Hakim, dkk, 2008: 321).
Karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903), dll.
Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada bidang logika, metafisika dan teori  pengatahuan. Tetapi perhatian Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan seni.

  1. Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 – 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat, politik, dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktik demokrasi. Dalam kondisi ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi. Pandangan dan gagasan filsafat ilmu berkembang dalam dialektika yang sangat dinamis. Hal ini karena berbagai pemikiran baru muncul menggantikan konsep-konsep dan pikiran lama.

  1. EKSISTENSIALISME
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai “aku” atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada) (Tafsir, 2009:218).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum, ia selalu sedang ini atau sedang itu (Tafsir, 1992:191)
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu dibedakan dengan filsafat eksistensi. Filsafat eksistensi yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga, akan tetapi cara beradanya tidaklah sama antar keduanya. Manusia berada di dalam dunia, ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya tersebut disebut dengan obyek (Hasan, 1974:7)
Ciri-ciri aliran eksistensialisme meliputi:
  1. Orang yang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan sesungguhnya;
  2. Orang yang berhubungan dengan dunia yang ada;
  3. Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badan;
  4. Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.

  1. Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme
Tokoh-tokoh pada aliran Eksistensialisme diantaranya: Sooren Kierkegaard (1815-1855), Martin Haidegger (1889-1976), Karr Jaspers (1883-1969). Ketiganya ini berasal dari Jerman, sedang tokoh dari Prancis adalah Gabriel Marcel (1889-1973), Jean Paul Sartre (1905-1980) dan masih banyak lagi diantaranya Albert Camus dan Simon Beauvoirh.

  1. Søren Aabye Kierkegaard


Søren Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf pada abad ke-19. Dia lahir pada tanggal 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark dan meninggal dunia tanggal 11 November 1855 saat berumur 42 tahun.  saat ini soren dianggap sebagai bapak filsuf eksistensialisme. Ajarannya beraliran eksistensialisme dan dia sangat bertentangan dengan Hegelian. Ayah dari Søren Kierkegaard bernama Michael Pedersen Kierkegaard, adalah seseorang yang sangat taat terhadap agama. Dia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Pekerjaan ayahnya sebagai pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan makanan. Awal mula Søren Kierkegaard mempelajari ilmu filsafat ketika ia bersekolah di sekolah khusus kaum lelaki di Borgerdydskolen. Sedangkan ibu Søren Kierkegaard bernama Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard. (Dagun, 1990:47).
Søren Kierkegaard merupakan anak terakhir dari ketujuh bersaudaranya. Banyak dari saudara-saudaranya yang meninggal dunia ketika di usia muda. Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum ayahnya meninggal dunia, ayahnya meminta Søren agar menjadi pendeta. Saat itu Søren sangat merasa terbebani dengan permintaan dari ayahnya. Regine Olsen sangat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam hidup Søren, Regine merupakan orang yang dicintai oleh Søren. Søren berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya, begitupun sebaliknya dengan Regine. Hingga akhirnya pada tanggal 8 September 1840, Søren resmi menikahi Regine. Namun pada akhirnya Søren merasakan kecewa dan melankolis dengan pernikahannya. Kurang dari satu tahun pernikahannya ia pun menyelesaikan pernikahannya dengan Regine. Dalam catatannya, Søren mengatakan bahwa sifat melankolis yang dimilikinya membuatnya tidak cocok untuk menikah. Walaupun sampai dia meninggal alasan mengapa dia menyelesaikan pernikahannya tidaklah jelas. (Dagun, 1990:48-49).
Ajaran yang diberikan oleh Søren adalah mengenai eksistensialisme. Yang artinya adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, hal ini berpusat pada manusia individu. Kebebasan ini sering ditemukan oleh manusia. Karena setiap manusia menginginkan adanya sebuah kebebasan tanpa memikirkan yang mana yang benar dan yang tidak benar. Sesungguhnya bukan mereka tidak memikirkan hal tersebut, melainkan mereka mengetahui batas kebebasannya masing-masing. Karena kebebasan bersifat relatif. Søren juga dikenal akan filsuf yang mengajarkan akan kecemasan dan keputusasaan eksistensial. (Dagun, 1990:49).
Eksistensialisme mempersoalkan akan adanya keberdaan manusia, dan keberadaan itu yang datang dari kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, dimana setiap manusia mengetahui dimana kebebasan mereka. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah maksud dari eksitensialisme.
Søren menggambarkan tentang eksistensialisme manusia dalam perkembangan religius. Dari apa yang disebutkan Søren tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahapan estetis adalah tahapan pertama ketika manusia berada dalam pandangan kesenangan terhadap indrawi, dimana manusia mencari kesenangan mereka masing-masing. Tahapan selanjutnya merupakan pada saat manusia terjun ke dalam keberadaan itu dengan mulai mempertimbangkan hal yang benar dan salah. Lalu tahapan yang terkahir adalah tentang keimanan. Disini Soren menempatkan Abraham sebagai tolak ukur akan keimanan. Dalam hal ini kita tidak dapat membedakan mana yang salah dan benar, karena dalam keimanan ini adalah hubungan langsung manusia dengan Allah. Soren pun tidak dapat mengkategorikannya, karena menurutnya ini dinilai begitu tidak umum.
Ajaran-ajaran Soren  baru terkenal setelah berpuluh-puluh tahun setelah kematiannya. Karyanya tersebar di daerah Eropa, khususnya di daerah Denmark. Namu saat itu Gereja-Gerejad di sekitar Denmark menolak akan adanya karya-karya Soren. Karena ada pengaruh akan karya yang dibuat oleh Soren  yang berjudul “Fear and Trembling”. Namun pada abad ke 20-an banyak filsuf yang ternyata menggunakan konsep Soren, mengenai pemahaman kecemasan, dan keputusasaan serta pentingnya individu manusia.
Soren sangat bertentangan akan ajaran dari Hegelian. Sehingga dia sering menjadi kritikus akan ajaran Hegel. Pemikiran yang ia kemukakkan adalah sebagai kritik atas Hegel, yang menekankan pada aspek subjektivisme. Hal ini akan membuat individu melupakan tanggung jawab pribadinya secara etis, bahkan akan menghilangkan eksistensi.

  1. Jean Paul Sartre
Tekanan Kiekegaard pada pentingnya arti eksistensi individu itu telah melahirkan semacam kesadaran umum pada tanggung jawab setiappribadi dalam kehidupan ini. Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah karyanya yang kelak menjadi intisari filsafat yang kelak dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensialisme yang dengan cepat mendapat sambutan hampir diseluruh dunia.
Seklipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan pemikiran kiekegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang teramat jauh. Bagi Sartre eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal, karena biasanya sesuatu harus ada essensinya lebih dulusebelum keberadaannya.
Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada didunia ini terutama cara beradanya manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu khusus hanya ada pada manusia, karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi. Filsafat eksistensialisme mendamparkan manusia kedunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya sendiri. (Tafsir:225)
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului essensinya. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan dan bebatuan yang essensinya mendahului eksistensinya. Didalam filsafat idealisme, wujud nyata (existency) dianggap mengikuti hakekat (essen)-nya, jadi, hakekat manusia memliki cirri khas tertentu, dan cirri itu yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri. Oleh karena itu dikatakan eksistensi manusia mendahului essensinya. (Struhl dan Struhl, 972:33,35). Dan formula ini merupakan prinsip utama dan pertama didalam filsafat eksistensialisme. Berikut ini dijelaskan apa yang dimaksud dengan eksistensi manusia mendahului essensinya (existence precedes essence) itu. Jika seseorng ingin membuat suatu barang misalnya sebuah buku. Ia mestinya talah mempunyai konsep (image, atau dll) tentang buku yang akan dibuatnya itu. Selanjutnya dibuatlah buku tersebut sesuai dengan konsep yang telah ada padanya. Dalam konteks pembicaraan ini kita tidak dapat membayangkan seseorang dapat membuat buku tanpa didahului oleh suatu konsep tentang buku. Dapatlah dikatakan bahwa konsep buku merupakan essensi buku dan wujud buku adalaheksistensinya. Jelaslah bahwa kehadiran buku itu ditentukan oleh pembuatnya, yaitu manusia. Maka, untuk buku berlaku essensi mendahului eksistensinya. Ini tentulah formula yang biasa, yang tidak biasa adalah apabila eksistensi manusia mendahului essensinya. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh eksistensialisme itu, untuk manusia. (Tafsir:225)
Bagi Sartre adalah tidak adanya Tuhan. Jika Tuhan ada maka Tuhan akan membatasi kebebasan manusia. Bagi Sartre, karena manusia itu bebas maka Tuhan tidak boleh ada. Bagi Sartre Tuhan adalah esensi, manusia adalah eksistensi, maka eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dan “terlibat” dalam dunia baru kemudian mendefinisikan dirinya. (Wibowo.2011:23)
Sartre pada masa kecilnya mendapatkan gambaran mengenai Tuhan dari keluarganya. Tuhan dalam gambaran diri Sartre adalah polisi yang mahatahu dan mahabesar. Tuhan digambarkan sebagai “yang menakutkan” dan selalu mengawasi tindak tanduknya. Ketika dirinya melakukan kesalahan tatapan mata Tuhan (le regard) menjadi ancaman bagi dirinya. Segala suara seperti langkah kaki, suara pintu yang berdecit, suara gerakan seakan menjadi “tatapan” mata Tuhan yang selalu mengawasi. Tatapan Tuhan menjadi ancaman. Hingga pada suatu ketika dirinya berusia 12 tahun, Sartre mengatakan dengan terperanjat bahwa Tuhan tidak eksis, kemudian dirinya mengganggap perkara yang dihadapinya sudah selesai. (Wibowo.2011:2
Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti ia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar bahwa ia berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia, inilah yang dianggap sebagi ajaran yang utama dan pertama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, itu bukan berarti ai bertanggung jawab untuk dirinya sendiri tetapi juga pada seluruh manusia.
Tampaklah oleh kita bahwa pendapat Sartre tentang eksistensi manusia bukan hendak menjelaskan keadaan beradanya manusia ditengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang hendaknya dipukul manusia. Munculnya pemikiran ini tidaklah mengherankan apabila kita membayangkan keadaan dunia pada saat itu, khususnya eropa barat tempat tinggal Sartre. Di Eropa Barat hidup dinikmati dan dinikmatkan dengan cara yang sehebat-hebatnya (Drijakara:86). Keadaan ini merupakan pengaruh berbagai sistem pemikiran yang hidup ketika itu
Sartre adalah filosof ateis: Itu dinyatakannya secara terang-terangan. Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Dari pemikiran ini ia menemukan bahwa eksistensi manusia, mendahului esensinya. Seandainya pemikiran ini diajukan untuk menekankan tanggung jawab manusia, itu tidaklah sulit jika ia percaya kepada Tuhan.
Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa ia barhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri lain hakikat keberadaan manusia. Orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah takut. (Bierman dan Gauld, 1973:602). Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di duni ini. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh (StruhI dan StruhI:38
Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan, memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga Heidegger (Beerling,223-24), manusia tidak solider, tetapi soliter. Ia memikul berat dunia seoarang diri. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Sartre ”adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan sedikitpun” (Beerling:232).
Manusia harus memutuskan. Dalam memutuskan saya tidak mempunyai bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan saya itu benar, tanpa bantuan orang lain, dan saya harus mempertanggungjawabkannya. Ini menimbulkan rasa takut. Takut itu bukanlah suatu suasana batin yang biasa, melainkan suatu suasana batin yang pokok. Rasa ini harus dibedakan dari getar. Getar itu jelas objeknya, sedangkan takut tidak menentu objeknya, tidak jelas takut pada apa. Kita tidak pernah mengetahui dengan tepat terhadap apa kita takut. Takut itu datangnya tiba-tiba, secara tiba-tiba kadang-kadang ia menghilang. Seolah-olah manusia takut kepada yang tidak ada, seperti orang yang takut pada gelap. Takut itu sebenarnya adalah takut kepada wujud. Wujud itulah yang mengasingkan kita dan membuat kita menjadi terpecil (lihat Beerling: 223 -24).
Akan tetapi, mestikah demikian? Tidak mungkinkah disamping rasa takut manusia memiliki rasa beranidan gembira karena ia boleh bartanggung jawab?. Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan manusia berdiri sendiri. Ini karena dia ateis. Apabila teis , manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak berdiri sendiri, ajaran tuhan selalu bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut muncul arena adanya kesadaran pada manusia bahwa ia manusia. Rasa seperti itu tidak ada pada hewan, tumbuhan dan bebatuan.
Bagi Sartre, karena manusia pengada yang sadar (letre-pour-soi) persoalannya menjadi rumit. Perta ia sadar. Dari sinilah muncul tanggung jawab. Karena tanggung jawab, manusia harus menentukan. Dari sinilah muncul kesendirian (kesepian), lalu rasa takut muncul. Kemudian Sartre menambahkan lagi”: dari kesadaran itu muncul penyangkalan (neantser) manusia itu selalu menyangkal. Dengan kesadaran itu manusia menyadari bahwa ia tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataannnya manusia itu termuat dalam suatu perbuatan. Tentang berbuat itu manusia sadar ia berbuat. Tentang perbuatan itu manusia menyadari bahwa ia selalu dalam peralihan. Disinilah letak kerumitan manusia itu, demikian Sartr
Manusia itu setelah menyadari dirinya, ia membantahnya, menyangkalnya. Ia membantah itu dengan mengalih, menuju yang lain. Setelah yang lain itu tercapai, pada waktu itulah ia menyanglkalnya. Apa yang telah dicapai pasti mengingkari. Manusia harus berbuat sementara hasil berbuatnya tidak akan memuaskan dirinya. Seakan-akan berbuat itu semacam hukuman yang tak terelakkan lagi.Jadi, manusia itu selalu berubah. Hakekat penyangkalan itu dapat dirumuskan dalam kalimt ini:“yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada”. Jadi manusia itu laksana orang yang mengejar bayangannya. Menurut Sartre itulah hakekat manusia. Disini tergambarlah suatu filsafat pustus asauntuk apa mengejar sesuatu padahal sudah diketahui jika sesuatu itu dicapai, ia akan mengingkarinya. Jadi, semua usaha diketahui akan berakhir sia-sia. Tetapi manusia harus berbuat. Ia harus meluncur terus samapi ia terengah-engah kepayahan. Untuk membtbaskan diri dari hukuman ituhnya ada dua kemungkinan: menjadi yang tak berkesadaran (en-soi, hewan tumbuhan , batu) atau bunuh diri. Menjadi en-soi tidak mungkin, yang mungkin adalah bunuh diri.
Akan tetapi, benarkah hakikat beradanya manusia seperti yang dikatakan oleh Sartre itu? Dengan mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal, Sartre lupa bahwa juga dapat membangun. Memang betul berbuat berarti mengalih, menuju kepada yang lain. Memang ada perbuatan yang tidak membangun. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa manusia harus bertanggung jawab? Ini haruslah berarti bahwa manusia harus membangun; ia harus membangun dirinya dan dunia. Terasa ada kontradiksi di sini.
Bila Sartre mengatakan bahwa segala perbuataan manusia tanpa tujuan, karena tidak ada yang tetap (selalu disangkal), jadi manusia tanpa harapan, maka hal ini tidak harus diartikan dinamikan hidup, tanda manusia ingin membangun dirinya dan dunia. Masalahnya sebatulnya: apakah manusia dapat merasa puas? Jawabannya terletak pada orangnya. Bila orangnya dijajah oleh nafsunya, maka ia tidak akan pernah merasa puas. Yang inilah filsafat Sartre itu. Adapun orang yang selalu ingin yang lebih baik, tidak mesti ia selalu merasa tidak puas. Filsafat ini harus dipahami dari pandangan ateisme.
Manusia harus berbuat, dan harus pula mengingkari hasilnya. Ini hukuman. Keadaan ini menimbulkan rasa muak (In nausee). Kata ini dapat berarti muak, mual, Jemu, rasa hendak muntah.
Mengapa mual? Karena tidak ada harapan. Manusia itu dihukum. Ia harus menghadapi kenyataan itu. Manusia harus mengadakan perubahan, jadi akan muncul ketidaktetapan, kekacauan. Karena tidak ada yang tetap, maka tidak ada yang diharapkan. Jelas, hal ini menimbulkan kejemuan, kemualan, ketertindasan, putus asa. Demikian memang reallitas hidup ini menurut Sartre
(Drijarkara:75)
Pikiran ini satu mata rantai dalam rangkaian pemikiran Sartre tentang hakikat wujud manusia. Sangat erat dengan formula “yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ilah yang belum ada”. Manusia selalu membelum, menjadi.
Filsafat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Ada juga, bahkan banyak, orang yang dalam hidupnya mempunyai harapan. Banyak orang yang tidak merasakan hidupnya kosong. Sartre kurang cermat dalam menggambarkan hakikat keberadaa manusia.
Sebagian besar buku Sartre berisi uraian yang tajam damn sinis tentang hubungan antarmanusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia, dalam instansi yang terakhir ialah revalitas dan konflik. Saya menekati orang lain, menurut Sartre tidak dapat diartikan selain bahwa saya hendak merebutnya, saya hendak menjadikannya objek (Beerling:230-31). Orang lain itu pun demikian terhadap saya. Selanjutnya Sartre menyimpulkan bahwa ada bersama itu berupa konflik atau permusuhan terus-menerus. Oleh karena itu, sifat malu, gentar, sombong adalah perasaan-perasaan asal, yang berupa reaksi saya tatkala bertemu dengan orang lain (Beerling:231). Jadi, di dalam hubungan antarmanusia itu, menurut Sartre, hanya ada dua kemungkinan: menjadi subjek atau maenjadi objek, memakan atau dimakan (Drijarkara:89). Kelihatannya Sartre sedikit “lembut” tatkala ia mengatakan bahwa relasi antarmanusia terjadi juga karena ikatan cinta kasih. Dalam cinta kasih pihak lain kepadaku, demikian Sartre, eksistensiku diakui, badanku diinginkan, aku dihargai (Peursen:226). Di sini sifat saling merendahkan, saling memakan, seperti menghilang dari filsafat Sartre. Sekalipun demikian, demikian Sartre, dalam hubungan cinta kasih ini pun konflik tetap ada (Peursen:226).
Di sini kita menyaksikan untuk kesekian kalinya dilema dalam filsafat Sartre: di satu pihak seseorang memerlukan orang lain agar ia dapat menjalani eksistensinya, tetapi di pihak lain ada bersama itu merupakan permusuhan. Tepat kata Hobbes: manusia ditakdirkan saling memusuhi. Sekarang semakin lengkaplah keterhukuman manusia, keterdamparannya, dan kesengsaraannya. Semakin jelas mengapa hidup itu dikatakan memuakkan, putus asa.
Berikut kita berikan sedikit komentar terhadap pikiran Sartre yang penuh dilema itu. Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat eksistensi manusia: eksistensi manusia mendahului asensinya. Mulainya manusia bereksistensi ialah sejak ia mengenal drinya dan dunia yang dihadapinya. Itu berarti bahwa ia telah berkesadaran. Dari kesadaran itu muncullah tangging jawab. Karena bertanggung jawab, maka manusia harus memilih, menentukan, memutuskan. Itu dilakukannya sendirian. Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu takut. Takut itu tidak jelas objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi penderitaan.
Karena kesadarannya itu manusia harus berbuat, berarti ia selalu berubah, selalu mengalih, karena yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum ada. Tentu saja manusia selalu mendobrak, berpindah, meluncur terus. Manusia laksana mengejar bayangannya sendiri: semakin cepet ia berlari, secepat itu pula bayangannya pergi. Manusia menjadi mual, muak, seperti mau muntah. Manusia dipaksa bekerja, tetapi tanpa harapan. Sial betul nasib manusia. Determinisme ditolak, tetapi manusia dihukum berarti determinisme juga.
Kehidupan bersama diperlukan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka bagi manusia. Dilema lagi. Memang filsafat Sartre penuh—kalau bukan seluruhnya oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara menulis sebagai berikut (Drijakara:89):
“Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji”


  1. Sumbangan Filsafat Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu, terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh faham materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia itu pada hakekatnya adalah barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi manusia itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis, manusia itu tidak hanya sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu.
  1. Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa dalam menentukan pilihannya.
  2. Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya.
  3. Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.
  4. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini, karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah mengikari eksistensi siswa sebagai individu.
  5. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi, estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.
  6. Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional, hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia

  1. FENOMENOLOGI
  1. Pengertian
Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phaenomeno  dan logos. Phaenomenon berarti tampak dan phaenen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan (Muzairi, 2009:141). Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak, atau ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran.

  1. Riwayat hidup tokoh
Pada awalnya banyak ahli filsafat mendefinisikan fenomenologi hanya suatu gaya berfikir bukan sebagai mazhab filsafat, adapula yang mendefinisikan fenomenologi adalah suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan juga sebagai suatu pendirian atau aliran filafat. Akan tetapi dalam mazgab filsafat fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai dasarnya.
Lalu kemudian Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision danLebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi.
Edmund Gustav Aibercht Husserladalah seorang filosof yang lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia (Jerman) pada tanggal 8 April 1859 dari keluarga yahudi (Hamersma, 1983:114). Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Awalanya ia seorang filosof ilmu pasti.
Setelah Edmund Husserl berada di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia (Hamersma, 1983: 114).



  1. Ajaran dan karya kefilsafatannya
Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat hendaknya tertuju kepada penyelidikan susunan kesadaran itu sendiri, sehingga akan nampaklah objek kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.( contohnya orang bersin-bersin/meler.. pada dunia kedokteran bahwa orang tersebut terkena flu.. tapi dalam fenomenologi hal tersebut belum dikatan penyakit flu karena dalam fenomenologi harus di selidiki dahulu,, apakah orang tersebut terkena virus flu atau yang lainnya... dan ternyata orang tersebut flu karena dia menghirup merica)....
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
  1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan.
  2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
  3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
  4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala presuposisi (peranggapan). Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya (contohnya penyebab flu tadi apakah penyebabnya karena virus atau karena merica). Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu.
Berikut karya filsafat dari Edmund Husserl
  1. Logische Untersucgsuchugen I dan II(Penyelidikan-penyelidikan logis)tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html)
  2. Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html)
  3. Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html)
Subjek filsfat adalah seseroang yang berfikir/ memikirkan hakekat sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal (Muslih, 2005 : 35).
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.


  1. Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini
Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan eidetic visionEpoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna “pengurungan” (bracketing) (ex. seorang yang meludahi Nabi Muhammad ketika beliau pulang solat dari mesjid. kita menganggap bahwa orang tersebut jahat, tapi kita lihat ke sisi yang lain, bahwa orang tersebut taat kepada ajarannya bahwa ajarannya menganngap bahwa Nabi adalah seorang musuh). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk  memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”.
Banyak sekali sumbangsi fenomenologi terhadap kemajuan ilmu saat ini, salah satunya yaitu terhadap gejala sosial atau ilmu sosial. Dalam peta tradisi teori ilmu sosial terdapat beberapa pendekatan yang menjadi landasan pemahaman terhadap gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat. Salah satu dari pendekatan yang terdapat dalam ilmu sosial itu dalah fenomenologi. Fenomenologi secara umum dikenal sebagai pendekatan yang dipergunakan untuk membantu memahami berbagai gejala atau fenomena sosial dalam masyarakat.
Peranan fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secara praxis sebagai jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap pola perilaku seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat. Namun demikian implikasi secara teknis dan praxis dalam melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utama dari kajian fenomenologi sebagai perspektif. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial.
Dengan demikian, fenomenologi secara kritis dapat diinterpretasikan secara luas sebagai sebuah gerakan filsafat secara umum memberikan pengaruh emansipatoris (ranah pemikiran pembebasan (emansipatoris) ) secara implikatif kepada metode penelitian sosial. Pengaruh tersebut di antaranya menempatkan responden sebagai subyek yang menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya pemahaman secara mendalam tentang pengaruh perkembangan fenomenologi itu sendiri terhadap perkembangan ilmu sosial belum banyak dikaji oleh kalangan ilmuwan sosial. Pengkajian yang dimaksud adalah pengkajian secara historis sebagai salah satu pendekatan dalam ilmu sosial.
Salah satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalam memberikan perhatian pada perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz. Ia mengkaitkan pendekatan fenomenologi dengan ilmu sosial. Selain Schutz, sebenarnya ilmuwan sosial yang memberikan perhatian terhadap perkembangan fenomenologi cukup banyak, tetapi Schutz adalah salah seorang perintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa dalam menangkap segala gejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai sebuah pendekatan yang berguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam dunia sosial.
Dengan kata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan konseptual antara pemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat sosial dan psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkat kolektif, yaitu masyarakat. Posisi pemikiran Alfred Schutz yang berada di tengah-tengah pemikiran fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah pemikirannya mengandung konsep dari kedua belah pihak. Pihak pertama, fenomenologi murni yang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang bernuansakan pemikiran metafisik dan transendental pada satu sisi. Di sisi lain, pemikiran ilmu sosial yang berkaitan erat dengan berbagai macam bentuk interaksi dalam masyarakat yang tersebar sebagai gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-gejala dalam dunia sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of interest) dari fenomenologi sosiologi.
Dalam khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah satu bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah penelitian yang termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa dalam kerangka penyusunan. Pendekatan model ini sedikit banyak terpengaruh oleh aliran positivistik. Pemikiran kritis yang selanjutnya muncul adalah bagaimana perkembangan fenomenologi sebagai sebuah pendekatan dalam ilmu sosial mensejajarkan posisinya. Dengan kata lain, pemikiran kritis dari tinjauan historis hermeneutis yang akan ditinjau dari tulisan singkat ini sedikit banyak juga akan membicarakan perjalanan fenomenologi sebagai sebuah pendekatan untuk secara akademis memperjuangkan kepentingan emansipatorisnya.
Implikasi dari wujud perjuangan emansipatoris tersebut termanifestasi dalam inovasi pemikiran Edmund Husserl tentang fenomenologi. Pemikirannya meletakkan tradisi berpikir fenomenologi yang bersifat transendental. Pemikiran transendental ini dibangun berdasarkan konstruksi berpikir yang terpengaruh logika positivistik seperti aritmatika dan geometri. Alasan penggunaan logika berpikir fisik positivistik bagi Husserl hanya dijadikan jalan menuju ke pemikiran metafisik transendental. Tradisi pemikiran ini akhirnya diteruskan oleh Martin Heidegger dan Max Scheler yang juga akan dipaparkan pada bagian selanjutnya sebagai bahan yang memperkaya perspektif pemikiran fisafat fenomenologi. Pemikiran-pemikiran fenomenologi Schutz terutama banyak dilandasi oleh pemikiran Husserl. Dasar pemikiran Husserl dari fenomenologi yang menggunakan unsur metafisik fundamental merupakan kekuatan legitimasi sebagai landasan berpikir dari penerus metodologi ini (Tevenaz, 1962:38).







REFERENSI

Aceng, dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Prenada Meda Grup.
Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia
Magnis Suseno, Franz., 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras.
Solihin. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pusta Setia
Tafsir, A.2001. Filsafat Umum. Bandung: Rosda.
Thevenaz, Pierre.1962. What is Phenomenology? Chicago: Quadrangle Books
Yanur, Fadli. 2008. Hakekat Pragmatisme. Tersedia pada (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html. diakses pada tanggal 28-10-2014)