EPISTIMOLOGI
FILSAFAT ILMU
Abstrak
Epistimologi
merupakan cabang filsafat yang didalamnya membahas tentang sumber dan
hakikat ilmu pengetahuan. Epistimologi memiliki peranan yang sangat
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Epistimologi menjadi tolak ukur kebenaran sebuah ilmu pengetahuan
sehingga dapat menjawab keragu-raguan manusia tentang ilmu
pengetahuan. Maka sangat penting untuk mempelajari hal-hal yang
berkaitan dengan epistimologi. Sejalan dengan hal ini, maka makalah
ini akan membahas tentang pengertian epistimologi, ruang lingkup
epistimologi, aliran-aliran yang ada dalam epistimologi dan apa
pengaruh epistimologi untuk menjadi referensi bagi para pembaca.
Kata
Pengantar
Puji
dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Shalawat serta salam kita
curahkan kepada junjunan kita, Nabi Muhammad SAW, karena atas rahmat
dan hidayah-Nyalah, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk dijadikan bahan presentasi mata
kuliah Filsafat Ilmu.
Makalah
ini penulis sampaikan kepada dosen pembimbing mata kuliah Ibu Teni
Sujatnika sebagai salah satu tugas mata kuliah tersebut. Tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
berjasa mencurahkan ilmu kepada penulis.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan Allah yang Maha Esa
senantiasa meridhoi usaha kita. Amin
Bandung,
1 November 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah
puas dan berpangku tangan dengan apa yang sudah ada.
Pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran sesungguhnya selalu muncul
dalam benak manusia, hal ini kemudian yang menjadi faktor utama
mengapa manusia berfilsafat, yaitu untuk mencari kebenaran yang
hakiki. Hipotesa-hipotesa tentang kebenaran dipikirkan dan kemudian
di uji dengan metode-metode tertentu untuk mengukur apakah kebenaran
itu bukanlah bersifat semu, melainkan kebenaran yang bersifat ilmiah
yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah. Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, manusia dihadapkan dengan
keragu-raguan atas kebenaran ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka
teramat penting bagi manusia untuk mempelajari filsafat ilmu.
Berbicara
tentang filsafat ilmu, kita tentunya akan menjumpai istilah
epistimologi, yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan
ilmiah). Epistimologi adalah bagian filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.
Sejak
semula, epistimologi merupakan salah satu bagian dari filsafat
sintematik yang paling sulit, sebab epistimologi menjangkau
permasalahan yang membentang luas, sehingga tidak ada satupun yang
boleh disingkirkan darinya. Selain itu pengetahuan merupakan hal yang
sangat abstrak. Oleh sebab itu, perlu diketahui apa saja yang menjadi
dasar-dasar pengetahuan yang dapat digunakan manusia untuk
mengembangkan diri dalam mengikuti perkembangan jaman dan teknologi
yang pesat, serta menjawab keragu-raguan atas pengetahuan-pengetahuan
baru.
- Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan Epistimologi?
- Bagaimana ruang lingkup Epistimologi?
- Apa saja aliran-aliran yang ada dalam Epistimologi?
- Bagaimana pengaruh Epistimologi bagi peradaban manusia?
- Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian Epistimologi.
- Untuk mengetahui ruang lingkup Epistimologi.
- Unuk mengetahui apa saja aliran-aliran yang ada dalam Epistimologi.
- Untuk mengetahui pengaruh Epistimologi bagi peradaban manusia.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Epistimologi
Istilah
‘Epistimologi’ berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘episteme’
yang berarti pengetahuan dan ‘logos’
yang berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata ‘episteme’
dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai,
artinya
menunduk, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harfiah,
episteme
berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam
kedudukan setepatnya. Bahan-bahan pembahasan dari epistimologi yaitu
mengenai definisi ilmu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang
lingkupnya, dan juga kebenaran ilmiahnya.
Epistimologi
sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Epistimologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang
berhubungan dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis
pengetahuan dan lain sebagainya. secara terminologi, epistimologi
merupakan teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat
tentang pengetahuan. Taylor dan Francis (2003) mengemukakan definisi
epistimologi sebagai berikut:
“Epistimology
is one the core areas of philosophy. It is concerned with the nature,
sources and limits of knowledge. There is a vast array of view about
those topics, but one virtually universal presupposition is that
knowledge is true belle, but not more than belief (Concise Routledge
Encyclopedia of Philosophy, tayler and Francis, 2003).
Runes
dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemology
is the brench of philosophy which investigates the origin, structure,
methods and validity of knowledge.
Definisi ini yang kemudian menjadi asal muasal mengapa kita
menyebutnya dengan istilah epistimologi. Istilah ini untuk pertama
kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier pada tahun 1854 (Runes,
1971).
2.2
Landasan Epistimologi
Keberadaan
epistimologi sebagai bagian dari filsafat yang memiliki kaitan erat
dengan pengetahuan berhubungan dengan hubungan mental manusia seperti
yang diungkapkan oleh Suriasumantri (1996:104-105) bahwa pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental secara langsung atau tak langsung
yang memperkaya kehidupan manusia. Pengetahuan memiliki hakikat untuk
mencapai suatu kebenaran atau mengharapkan kebenaran. Maka dari itu
epistimologi hadir dengan dengan metode-metode ilmiah didalamnya.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut sebagai ilmu. Tidak semua pengetahuan disebut sebagai ilmu,
sebab ilmu merupakan pengetahuan yang proses atau cara mendapatkannya
harus sesuai dengan syarat-syarat metode ilmiah. Sjamsuddin (2007)
menjelaskan metode sebagai cara untuk berbuat sesuatu, suatu prosedur
untuk mengerjakan sesuatu, keteraturan dalam berbuat, berencana dan
lain-lain. Sjamsuddin menambahkan bahwa metodologi secara filsafat
termasuk dalam epistimologi yang pembahasannya telah disebutkan
sebelumnya diatas. Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi
dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan yaitu rasio
dan fakta. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal dan
indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,
diantaranya adalah:
- Metode Deduktif
Rasio
atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan.
Rasio ini telah lama digunakan oleh manusia dalam wilayah keilmuan.
Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan
rasional, dengan pengertian lain disebut dengan metode deduktif yang
dikenal dengan silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh
Aristoteles. Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui
kesimpulan deduktif (baik menggunakan logika deduktif, berpikir
deduktif atau metode deduktif), maka harus ada pengetahuan dan dalil
umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau dasar
berpijak kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor
ini, muncullah premis minor yang merupakan bagian dari premis mayor.
Setelah ini baru bisa ditarik kesimpulan deduktif. Disamping itu,
pendekatan rasional ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam
menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi yang
logis.
- Metode Induktif
Jika
kita berpedoman bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang
memiliki kerangka berpikir yang paling meyakinkan, maka pedoman ini
pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya
bersifat subjektif. Lagipula kesimpulan yang benar menurut alur
pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Contohnya, seseorang
yang menguasai ilmu ekonomi, belum tentu bisamenghasilkan keuntungan
yang besar ketika ia mempraktekkan teori-teorinya. Padahal
teori-teori ini dibangun menurut alur pemikiran yang benar. Hal ini
kemudian menjadikan rasionalisme atau metode deduktif memiliki
kelemahan. Dengan demikian maka muncul aliran empirisme. Aliran ini
dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Bacon yakin mampu membuat
kesimpulan umum yang lebih benar bila kita mengumpulkan fakta memalui
pengamatan langsung. Maka ia memperkenalkan metode induktif sebagai
lawan dari metode deduktif. Sebagai implikasi metode induktif, Bacon
menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan
dan hasil pengamatan. Induksi merupakan suatu metode yang
menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam
suatu pernyataan yang umum. Menurut David Hume (1711-1716),
pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal, betapapun besar
jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan pernyataan umum yang
tak terbatas.
- Metode Positivisme
Metode
ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal
dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan yang positif. Ia
menyampaikan segala uraian atau persoalan diluar yang ada sebagai
fakta. Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam
tiga tahap yaitu teologis, metofisis dan positif.
- Metode Kontemplatif
Metode
ini mengtakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun
berbeda-beda, harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut
dengan intuisi.
- Metode Dialektis
Merupakan
metode Tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.
Metode-metode
diatas secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong lahirnya
aliran-aliran Epistimologi, diantaranya:
- Empirisme
Kata
empiris berasal dari kata Yunani yaitu ‘empieriskos’ yang berasal
dari kata empiria, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila
dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah
pengalaman inderawi. Hal ini sejalan dengan metode indukktif. John
Locke (1632-1704) pabak aliran ini pada zaman modern mengemukakan
teori tabula
rusa
yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia
itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya
mengisi jiwanya yang kosong. Mula-mula tangkapan inderayang masuk itu
sederhana, lama-lama menjadi sulit, lalu tersusunlah pengetahuan yang
berarti. Bagaimana kompleksnya pengetahuan manusia, ia selalu dapat
dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat
diamati dengan indera bukan pengetahuan yang benar. Jadi menurut
aliran ini, pengalaman indera adalah suatu pengetahuan yang benar.
Namun demikian, metode yang menjadi tumpuan aliran ini adalah
eksperimen. Eksperimen termarginalkan dengan keterbatasan indera.
Maka aliran ini memiliki kelemahan.
- Rasionalisme
Secara
singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.
Manusia, menurut aliran ini, melalui kegiatan akal menangkap objek.
Hal ini sejalan dengan metode deduktif yang telah dijelaskan
sebelumnya. Bapak aliran ini adalah Descartes (1596-1650). Descrates
seorang filsuf yang tidak puas denganfilsafat scholastic yang
pandangannya bertentangan, dan tidak adanya kepastian yang disebabkan
oleh kurangnya metode berpikir yang tepat. Dan ia juga mengemukakan
metode baru, yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap
segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang berpikir.
Sebab, yang sedang berpikir itu tentu ada ‘Cogito
Ergo Sun’
(saya berpikir, maka saya ada).
Rasio
merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa
orang kepada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang
benderang yang disebut Ideas
Claires el Distictes
(pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Idea terang
benderang ialah pemberian Tuhan terhadap seseorang yang dilahirkan
(idea innatac = ide bawaan). Sebagai pemberian Tuhan, maka tak
mungkin tak benar.
- Positivisme
Seperti
yang telah disebutkan diatas, paham positivisme di cetuskan oleh
August Comte (1798-1857) yang melandari lahirnya aliran ini. Comte
menganut aliran empirisme, ia berpendapat bahwa indera itu sangat
penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan
alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan
dapat dikoreksi dengan eksperimen. Eksperimen memerlukan
ukuran-ukuran yang jelas, misalnya untuk mengukur jarak kita harus
menggunakan alat ukur seperti meteran. Kebenaran diperoleh dengan
akal dan didukung oleh bukti empirisnya. Dan alat bantu itulah bagian
dari aliran positivisme. Jadi pada dasarnya, aliran positivisme
bukanlah aliran yang dapat berdiri sendiri, aliran ini menyempurnakan
empirisme dan rasionalisme.
- Intuisionisme
Henry
Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak
hanya indera yang terbatas akal juga terbatas. Barson mengungkapkan
bahwa objek selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak
pernah tetap. Intelektual atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat
memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek
itu. Jadi dalam hal ini manusia tidak mengetahui keseluruhan
(unique), tidak dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada objek.
Misalnya, manusia memiliki pikiran yang berbeda-beda. Dengan
menyadari kekurangan dari indera dan akal maka Bangson mengembangkan
suatu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi.
Hal ini sejalan dengan metode ilmiah kontemplatif.
- Kritisme
Aliran
ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang ahli pemik
yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme
denganempirisme. seorang ahli ppikerJerman bernama Immanuel Kant
(1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Kant mengakui
peranan akal dan keharusan empiris, kemudian ia mencoba mengadakan
sintesisi. Jadi metode pemikirannya disebut metode kritis.
- Idealisme
Idealisme
merupakan suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik
hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan jiwa dan roh. Istilah
idealism diambil dari kata idea
yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini dimiliki oleh Plato
dan para filsuf modern.
- Ruang Lingkup Epistimologi
Seperti
yang kita ketahui, ruang lingkup epistimologi mencakup aspek yang
begitu luas. Armai Arif mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh
Abdul Aziz, epistimologi berhubungan dengan masalah-masalah yang
bersangkutan dengan:
- Filsafat, sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
- Metode, memiliki tujuan yang mengantarkan manusia mencapai pengetahuan.
- Sistem, bertujuan untuk memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Dalam
bukunya Filsafat
Pendidikan Islam,
M.Arifin merinci ruang lingkup epistimologi meliputi hakikat, sumber
dan validitas pengetahuan. Hal ini sesuai dengan definisi
epistimologi yang diungkapkan oleh Runes (1971) diatas. Mudhor Ahmad
merinci ruang lingkup epistimologi menjadi enam aspek, yaitu hakikat,
unsure, macam, tumpuan, batas dan sasaran pengetahuan. Sedangkan A.M.
Saefuddin menyebutkan bahwa epistimologi mencakup pertanyaan yang
harus dijawab; apakah ilmu itu, darimana asalnya, apa sumbernya,
bagaimana hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar,
mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita
ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu bisa
diringkas menjadi dua pokok yaitu masalah sumber ilmu dan masalah
kebenaran ilmu. Jadi ruang lingkup epistimologi dapat diringkas
menjadi sumber ilmu dan hakikat ilmu.
Persoalan-persoalan
penting yang dikaji dalam epistimologi berkisar pada masalah asal
usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan,
hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan, hubungan antara
pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisisme universal, dan
bentuk-bentuk perubahan yang berasal dari konseptualisasi baru
mengenai dunia. Dalam kaitannya dengan hakikat pengetahuan,
permasalahan yang timbul ialah ‘bagaimana hakikat pengetahuan itu’.
Permasalahan ini kemudian memunculkan dua pandangan yaitu: 1).
Realism, pandangan bahwa hakikat pengetahuan manusia riil adanyadalam
kehidupan, dan 2). Idealism, pandangan bahwa hakikat pengetahuan
tidak terdapat dalam dunia riil melainkan hanya dalam konsep atau
dunia ide-ide.
Kemudian
yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah ‘darimana sumber
pengetahuan manusia’, atau ‘darimana manusia memperoleh
pengetahuan’. Dalam kaitan ini muncul tiga pandangan yaitu 1).
Rasionalisme, yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari
rasio (akal) manusai, 2). Empirisme, yang memiliki pandangan bahwa
sumber pengetahuan adalah indera (empiri) manusia, 3).
Kritisisme/transendentalisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan
manusia bersumber dari luar diri manusia, yaitu Tuhan.
- Objek dan Tujuan Epistimologi
Dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek
disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan
kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan
tujuan, bahkan jauh berbeda. Objek adalah sasaran sedangkan tujuan
merupakan harapan. Meskipun berbeda, namun keduanya memiliki hubungan
yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya
tujuan. Dalam pembahasan filsafat terdapat dua objek yaitu formal
dan material. Rizal Muntasyir dan Misnal Munir mengatakan bahwa objek
material epistimologi adalah pengetahuan, dan objek formalnya adalah
hakikat pengetahuan. Sedangkan mengenai tujuan dari epistimologi,
Jacques Martin mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Mujamil
Qomar, “tujuan epistimologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab
pertanyaan ‘apakah saya dapat tahu’, tetapi untuk menentukan
‘syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu’. Hal ini
menunjukkan bahwa epistimologi bukan untuk memperoleh pengetahuan,
akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari epistimologi ialah
ingin memiliki potensi untuk menggali, mendapatkan atau memperoleh
pengetahuan.
Rumusan
tujuan epistimologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika
pengetahuan. Rumusan tersebut menimbulkan kesadaran seseorang bahwa
jangan sampai puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan tanpa
disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan. Sebab
keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan
cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.
- Pengaruh Epistimologi
Secara
global, epistimologi berpengaruh terhadap peradaban manusia,
khususnya dalam bidang ilmu ppengetahuan. Suatu peradaban sudah tentu
dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistimologi mengatur semua aspek
studi manusia, itulah sebabnya mengapa epistimologi disebutkan
memiliki cakupan yang sangat luas, karena dengan studi semua aspek
kehidupan manusia akan terjamah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah,
epistimologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis
prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus
berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan
ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan
selanjutnya. Epistimologi juga membekali daya kritik yang tinggi
terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Penguasaan
epistimologi, terutama cara memperoleh pengetahuan sangat membantu
seseorang untuk melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran
yang timbul dari dirinya sendiri maupun oranglain sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan relative mudah dicapai. Epistimologi
memiliki peranan penting dalam perkembangan teknologi dan sains bagi
umat manusia. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil
pemikiran-pemikiran secara epistimologi, yaitu pemikiran dan
perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu,
perangkat-perangkat apa yang dibutuhkan dalam mewujudkan sesuatu itu
dan lain sebaganya.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Epistimologi
merupakan cabang filsafat yang didalamnya membahas tentang sumber dan
hakikat ilmu pengetahuan. Epistimologi memiliki peranan penting bagi
manusia dalam mencari kebenaran suatu ilmu pengetahuan dimana manusia
selalu dihadapkan dengan keragu-raguan atas ilmu pengetahuan itu
sendiri. Epistimologi hadir untuk menjawab keragu-raguan manusia dan
menyodorkan berbagai metode-metode ilmiah yang dapat memudahkan
manusia mencapai ilmu pengetahuan yang benar, juga menjadikan manusia
tidak pasif dalam menerima ilmu pengetahuan, melainkan menjadikannya
dinamis dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan seiring
perkembangan zaman. Epistimologi telah menyokong perkembangan
peradaban manusia dalam berbagai aspek kehidupan yang menjadikan
manusia berpikir, sesungguhnya manusia ada karena ia berpikir.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Muhammad Nurul. Makalah
Filsafat.
18 Maret 2014. 27 Oktober 2014 <http://www.mohnurula.blogspot.com>.
Bumbungan,
Oktavianus. Makalah
Filsafat Ilmu Epistimologi.
29 September 2013. 28 Oktober 2014
<http://oktavianustkjb.blogspot.com>.
Hadi,
Hardono.
Epistimolog Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Mustansyir,
Rizal and Misnal Munir. Filsafat
Ilmu.
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008.
Sudarsono.
Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta, 2008.
No comments:
Post a Comment