Wednesday, November 5, 2014

Erli Nurus Shobah

EPISTIMOLOGI FILSAFAT ILMU

Abstrak
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang didalamnya membahas tentang sumber dan hakikat ilmu pengetahuan. Epistimologi memiliki peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Epistimologi menjadi tolak ukur kebenaran sebuah ilmu pengetahuan sehingga dapat menjawab keragu-raguan manusia tentang ilmu pengetahuan. Maka sangat penting untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan epistimologi. Sejalan dengan hal ini, maka makalah ini akan membahas tentang pengertian epistimologi, ruang lingkup epistimologi, aliran-aliran yang ada dalam epistimologi dan apa pengaruh epistimologi untuk menjadi referensi bagi para pembaca.

Kata Pengantar
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Shalawat serta salam kita curahkan kepada junjunan kita, Nabi Muhammad SAW, karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk dijadikan bahan presentasi mata kuliah Filsafat Ilmu.
Makalah ini penulis sampaikan kepada dosen pembimbing mata kuliah Ibu Teni Sujatnika sebagai salah satu tugas mata kuliah tersebut. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah berjasa mencurahkan ilmu kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan Allah yang Maha Esa senantiasa meridhoi usaha kita. Amin


Bandung, 1 November 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dan berpangku tangan dengan apa yang sudah ada. Pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran sesungguhnya selalu muncul dalam benak manusia, hal ini kemudian yang menjadi faktor utama mengapa manusia berfilsafat, yaitu untuk mencari kebenaran yang hakiki. Hipotesa-hipotesa tentang kebenaran dipikirkan dan kemudian di uji dengan metode-metode tertentu untuk mengukur apakah kebenaran itu bukanlah bersifat semu, melainkan kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, manusia dihadapkan dengan keragu-raguan atas kebenaran ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka teramat penting bagi manusia untuk mempelajari filsafat ilmu.
Berbicara tentang filsafat ilmu, kita tentunya akan menjumpai istilah epistimologi, yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistimologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.
Sejak semula, epistimologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sintematik yang paling sulit, sebab epistimologi menjangkau permasalahan yang membentang luas, sehingga tidak ada satupun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak. Oleh sebab itu, perlu diketahui apa saja yang menjadi dasar-dasar pengetahuan yang dapat digunakan manusia untuk mengembangkan diri dalam mengikuti perkembangan jaman dan teknologi yang pesat, serta menjawab keragu-raguan atas pengetahuan-pengetahuan baru.
    1. Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Epistimologi?
  2. Bagaimana ruang lingkup Epistimologi?
  3. Apa saja aliran-aliran yang ada dalam Epistimologi?
  4. Bagaimana pengaruh Epistimologi bagi peradaban manusia?
    1. Tujuan
  1. Untuk mengetahui pengertian Epistimologi.
  2. Untuk mengetahui ruang lingkup Epistimologi.
  3. Unuk mengetahui apa saja aliran-aliran yang ada dalam Epistimologi.
  4. Untuk mengetahui pengaruh Epistimologi bagi peradaban manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
    1. Pengertian Epistimologi
Istilah ‘Epistimologi’ berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘episteme’ yang berarti pengetahuan dan ‘logos’ yang berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata ‘episteme’ dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menunduk, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harfiah, episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Bahan-bahan pembahasan dari epistimologi yaitu mengenai definisi ilmu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan juga kebenaran ilmiahnya.
Epistimologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistimologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan dan lain sebagainya. secara terminologi, epistimologi merupakan teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan. Taylor dan Francis (2003) mengemukakan definisi epistimologi sebagai berikut:


Epistimology is one the core areas of philosophy. It is concerned with the nature, sources and limits of knowledge. There is a vast array of view about those topics, but one virtually universal presupposition is that knowledge is true belle, but not more than belief (Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, tayler and Francis, 2003).


Runes dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemology is the brench of philosophy which investigates the origin, structure, methods and validity of knowledge. Definisi ini yang kemudian menjadi asal muasal mengapa kita menyebutnya dengan istilah epistimologi. Istilah ini untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier pada tahun 1854 (Runes, 1971).
2.2 Landasan Epistimologi
Keberadaan epistimologi sebagai bagian dari filsafat yang memiliki kaitan erat dengan pengetahuan berhubungan dengan hubungan mental manusia seperti yang diungkapkan oleh Suriasumantri (1996:104-105) bahwa pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental secara langsung atau tak langsung yang memperkaya kehidupan manusia. Pengetahuan memiliki hakikat untuk mencapai suatu kebenaran atau mengharapkan kebenaran. Maka dari itu epistimologi hadir dengan dengan metode-metode ilmiah didalamnya. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut sebagai ilmu. Tidak semua pengetahuan disebut sebagai ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang proses atau cara mendapatkannya harus sesuai dengan syarat-syarat metode ilmiah. Sjamsuddin (2007) menjelaskan metode sebagai cara untuk berbuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu, keteraturan dalam berbuat, berencana dan lain-lain. Sjamsuddin menambahkan bahwa metodologi secara filsafat termasuk dalam epistimologi yang pembahasannya telah disebutkan sebelumnya diatas. Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan yaitu rasio dan fakta. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal dan indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah:
  1. Metode Deduktif
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan oleh manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional, dengan pengertian lain disebut dengan metode deduktif yang dikenal dengan silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles. Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka harus ada pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau dasar berpijak kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor ini, muncullah premis minor yang merupakan bagian dari premis mayor. Setelah ini baru bisa ditarik kesimpulan deduktif. Disamping itu, pendekatan rasional ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi yang logis.
  1. Metode Induktif
Jika kita berpedoman bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memiliki kerangka berpikir yang paling meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat subjektif. Lagipula kesimpulan yang benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Contohnya, seseorang yang menguasai ilmu ekonomi, belum tentu bisamenghasilkan keuntungan yang besar ketika ia mempraktekkan teori-teorinya. Padahal teori-teori ini dibangun menurut alur pemikiran yang benar. Hal ini kemudian menjadikan rasionalisme atau metode deduktif memiliki kelemahan. Dengan demikian maka muncul aliran empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Bacon yakin mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar bila kita mengumpulkan fakta memalui pengamatan langsung. Maka ia memperkenalkan metode induktif sebagai lawan dari metode deduktif. Sebagai implikasi metode induktif, Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan dan hasil pengamatan. Induksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang umum. Menurut David Hume (1711-1716), pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal, betapapun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan pernyataan umum yang tak terbatas.
  1. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan yang positif. Ia menyampaikan segala uraian atau persoalan diluar yang ada sebagai fakta. Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu teologis, metofisis dan positif.
  1. Metode Kontemplatif
Metode ini mengtakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda, harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
  1. Metode Dialektis
Merupakan metode Tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.


Metode-metode diatas secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong lahirnya aliran-aliran Epistimologi, diantaranya:
  1. Empirisme
Kata empiris berasal dari kata Yunani yaitu ‘empieriskos’ yang berasal dari kata empiria, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Hal ini sejalan dengan metode indukktif. John Locke (1632-1704) pabak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwanya yang kosong. Mula-mula tangkapan inderayang masuk itu sederhana, lama-lama menjadi sulit, lalu tersusunlah pengetahuan yang berarti. Bagaimana kompleksnya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukan pengetahuan yang benar. Jadi menurut aliran ini, pengalaman indera adalah suatu pengetahuan yang benar. Namun demikian, metode yang menjadi tumpuan aliran ini adalah eksperimen. Eksperimen termarginalkan dengan keterbatasan indera. Maka aliran ini memiliki kelemahan.
  1. Rasionalisme
Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, melalui kegiatan akal menangkap objek. Hal ini sejalan dengan metode deduktif yang telah dijelaskan sebelumnya. Bapak aliran ini adalah Descartes (1596-1650). Descrates seorang filsuf yang tidak puas denganfilsafat scholastic yang pandangannya bertentangan, dan tidak adanya kepastian yang disebabkan oleh kurangnya metode berpikir yang tepat. Dan ia juga mengemukakan metode baru, yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang berpikir. Sebab, yang sedang berpikir itu tentu ada ‘Cogito Ergo Sun’ (saya berpikir, maka saya ada).
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderang yang disebut Ideas Claires el Distictes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Idea terang benderang ialah pemberian Tuhan terhadap seseorang yang dilahirkan (idea innatac = ide bawaan). Sebagai pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar.
  1. Positivisme
Seperti yang telah disebutkan diatas, paham positivisme di cetuskan oleh August Comte (1798-1857) yang melandari lahirnya aliran ini. Comte menganut aliran empirisme, ia berpendapat bahwa indera itu sangat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi dengan eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas, misalnya untuk mengukur jarak kita harus menggunakan alat ukur seperti meteran. Kebenaran diperoleh dengan akal dan didukung oleh bukti empirisnya. Dan alat bantu itulah bagian dari aliran positivisme. Jadi pada dasarnya, aliran positivisme bukanlah aliran yang dapat berdiri sendiri, aliran ini menyempurnakan empirisme dan rasionalisme.
  1. Intuisionisme
Henry Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera yang terbatas akal juga terbatas. Barson mengungkapkan bahwa objek selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelektual atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu. Jadi dalam hal ini manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada objek. Misalnya, manusia memiliki pikiran yang berbeda-beda. Dengan menyadari kekurangan dari indera dan akal maka Bangson mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Hal ini sejalan dengan metode ilmiah kontemplatif.
  1. Kritisme
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang ahli pemik yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme denganempirisme. seorang ahli ppikerJerman bernama Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiris, kemudian ia mencoba mengadakan sintesisi. Jadi metode pemikirannya disebut metode kritis.
  1. Idealisme
Idealisme merupakan suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan jiwa dan roh. Istilah idealism diambil dari kata idea yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini dimiliki oleh Plato dan para filsuf modern.


    1. Ruang Lingkup Epistimologi
Seperti yang kita ketahui, ruang lingkup epistimologi mencakup aspek yang begitu luas. Armai Arif mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Aziz, epistimologi berhubungan dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan:
  1. Filsafat, sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
  2. Metode, memiliki tujuan yang mengantarkan manusia mencapai pengetahuan.
  3. Sistem, bertujuan untuk memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, M.Arifin merinci ruang lingkup epistimologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Hal ini sesuai dengan definisi epistimologi yang diungkapkan oleh Runes (1971) diatas. Mudhor Ahmad merinci ruang lingkup epistimologi menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsure, macam, tumpuan, batas dan sasaran pengetahuan. Sedangkan A.M. Saefuddin menyebutkan bahwa epistimologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, darimana asalnya, apa sumbernya, bagaimana hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu bisa diringkas menjadi dua pokok yaitu masalah sumber ilmu dan masalah kebenaran ilmu. Jadi ruang lingkup epistimologi dapat diringkas menjadi sumber ilmu dan hakikat ilmu.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam epistimologi berkisar pada masalah asal usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia. Dalam kaitannya dengan hakikat pengetahuan, permasalahan yang timbul ialah ‘bagaimana hakikat pengetahuan itu’. Permasalahan ini kemudian memunculkan dua pandangan yaitu: 1). Realism, pandangan bahwa hakikat pengetahuan manusia riil adanyadalam kehidupan, dan 2). Idealism, pandangan bahwa hakikat pengetahuan tidak terdapat dalam dunia riil melainkan hanya dalam konsep atau dunia ide-ide.
Kemudian yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah ‘darimana sumber pengetahuan manusia’, atau ‘darimana manusia memperoleh pengetahuan’. Dalam kaitan ini muncul tiga pandangan yaitu 1). Rasionalisme, yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari rasio (akal) manusai, 2). Empirisme, yang memiliki pandangan bahwa sumber pengetahuan adalah indera (empiri) manusia, 3). Kritisisme/transendentalisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan manusia bersumber dari luar diri manusia, yaitu Tuhan.


    1. Objek dan Tujuan Epistimologi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan, bahkan jauh berbeda. Objek adalah sasaran sedangkan tujuan merupakan harapan. Meskipun berbeda, namun keduanya memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan. Dalam pembahasan filsafat terdapat dua objek yaitu formal dan material. Rizal Muntasyir dan Misnal Munir mengatakan bahwa objek material epistimologi adalah pengetahuan, dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Sedangkan mengenai tujuan dari epistimologi, Jacques Martin mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Mujamil Qomar, “tujuan epistimologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan ‘apakah saya dapat tahu’, tetapi untuk menentukan ‘syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu’. Hal ini menunjukkan bahwa epistimologi bukan untuk memperoleh pengetahuan, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari epistimologi ialah ingin memiliki potensi untuk menggali, mendapatkan atau memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistimologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menimbulkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan. Sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.


    1. Pengaruh Epistimologi
Secara global, epistimologi berpengaruh terhadap peradaban manusia, khususnya dalam bidang ilmu ppengetahuan. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistimologi mengatur semua aspek studi manusia, itulah sebabnya mengapa epistimologi disebutkan memiliki cakupan yang sangat luas, karena dengan studi semua aspek kehidupan manusia akan terjamah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistimologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan selanjutnya. Epistimologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Penguasaan epistimologi, terutama cara memperoleh pengetahuan sangat membantu seseorang untuk melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang timbul dari dirinya sendiri maupun oranglain sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relative mudah dicapai. Epistimologi memiliki peranan penting dalam perkembangan teknologi dan sains bagi umat manusia. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistimologi, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang dibutuhkan dalam mewujudkan sesuatu itu dan lain sebaganya.

BAB III
PENUTUP
    1. Kesimpulan
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang didalamnya membahas tentang sumber dan hakikat ilmu pengetahuan. Epistimologi memiliki peranan penting bagi manusia dalam mencari kebenaran suatu ilmu pengetahuan dimana manusia selalu dihadapkan dengan keragu-raguan atas ilmu pengetahuan itu sendiri. Epistimologi hadir untuk menjawab keragu-raguan manusia dan menyodorkan berbagai metode-metode ilmiah yang dapat memudahkan manusia mencapai ilmu pengetahuan yang benar, juga menjadikan manusia tidak pasif dalam menerima ilmu pengetahuan, melainkan menjadikannya dinamis dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan seiring perkembangan zaman. Epistimologi telah menyokong perkembangan peradaban manusia dalam berbagai aspek kehidupan yang menjadikan manusia berpikir, sesungguhnya manusia ada karena ia berpikir.

DAFTAR PUSTAKA


Arifin, Muhammad Nurul. Makalah Filsafat. 18 Maret 2014. 27 Oktober 2014 <http://www.mohnurula.blogspot.com>.
Bumbungan, Oktavianus. Makalah Filsafat Ilmu Epistimologi. 29 September 2013. 28 Oktober 2014 <http://oktavianustkjb.blogspot.com>.
Hadi, Hardono. Epistimolog Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Mustansyir, Rizal and Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008.
Sudarsono. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

No comments:

Post a Comment