HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN METODE ILMIAH
PENDAHULUAN
Manusia dalam hidupnya tidak lepas dari alam yang mengelilinginya. Dia dihadapkan kepada fenomena- fenomena (alam) yang menimbulkan rasa heran pada dirinya. Kenyataan ini membuat manusia berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Interaksi ini menimbulkan berbagai ragam masalah dalam kehidupan manusia selanjutnya.
Fenomena (external world) yang lama kelamaan menimbulkan keingintahuan pada dirinya (eagerness). Keingintahuan pada diri manusia itu, mendorong dia untuk memulai mengamati fenomena- fenomena ( alam ) tersebut. Ketika manusia mulai mengamati sesuatu ini, dimulailah suatu proses kegiatan ilmiah. Proses mengamati untuk memuaskan rasa keingin tahuan (eagerness manusia itu dilakukan dengan cara – cara tertentu, metode tertentu, sesuai dengan proses kegiatan ilmiah. Metode sebagai cara untuk mengamati sesuatu proses kegiatan ilmiah. Metode sebagai cara untuk mengamati sesuatu, proses kegiatan ilmiah, harus dengan cara-cara tertentu pula, yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai suatu kegiatan ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu, tercantum dalam metode ilmiah. Metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu , yang mempunyai langkah-langkah sistematis.
Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Metodologi selain merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan ilmu juga pada dirinya melekat suatu ilmu. Metodologi adalah ilmu itu sendiri. Metodologi secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan?, Apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk didapat manusia?
Bertitik tolak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka dalam kesempatan ini penulis akan mencoba membahas mengenai bagaimana hubungan filsafat ilmu dengan metode ilmiah?
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ilmu
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahsa Inggris : Science. Kata science ini berasal dari kata Latin Scientia yang berarti pengetahuan. Kata scientia ini berasal dari bentuk kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui. Pada mulanya cakupan ilmu (science) secara etimologis menunjuk pada pengetahuan semata-mata, pengetahuan apa saja.4 Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu (science) ini mengalami perluasan arti, sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik (systematic knowledge). Pemakaian yang luas dari kata ilmu (science) ini diteruskan dalam bahasa Jerman dengan istilah wissenschaft yang berlaku terhadap kumpulan pengetahuan apapun yang teratur, termasuk di dalamnya naturwissenschaften yang mencakup ilmuilmu kealaman maupun geisteswissenschaften yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai the humanities (pengetahuan kemanusiaan), sementara dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai ilmu-ilmu budaya yang pada umumnya mencakup pengetahuan-pengetahuan tentang bahasa dan sastra,estetika, sejarah, filsafat dan agama.
Ilmu adalah suatu bentuk ciptaan Tuhan.Orang tidak menciptakan ilmu, melainkan mengungkapkan ilmu, atau mencari ilmu.6 Mencari ilmu merupakan kewajiban manusia, dan apabila manusia telah menguasai ilmu, ilmunya pun akan memberikan kenikmatan padanya.
Dalam filsafat ilmu, ilmu atau sains itu dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ontologi adalah segala sesuatu yang bertalian dengan terbentuknya ilmu, dan dengan epistemologi dimaksudkan Dampier dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Fisafat UGM, dengan makna ilmu ialah tentang seluk beluk ilmu itu sendiri, apa kemampuannya dan apa pula keterbatasannya. Aksiologi adalah segi guna laksana dari ilmu , ialah hal-hal yang bertalian dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Menurut Muladi, sain (science) harus diartikan sebagai “a scientific method a process for evaluating empirical knowledge” or “the organized body of knowledge gained by the process”. Andi Hakim Nasoetion menyatakan bahwa pengetahuan yang dikumpulkan manusia melalui penggunaan akalnya kemudian disusun menjadi suatu bentuk yang berpola teratur disebut ilmu aqliah atau ilmu falsafiyyah, yaitu ilmu yang diperoleh melalui penggunaan akal dan kecendikiaan.Ilmu inilah yang dinamakan sains dan disebut juga ilmu pengetahuan.
2. Ciri-Ciri Ilmu
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah ilmu. Kumpulan pengetahuan untuk dapat disebut ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu obyek material dan obyek formal. Setiap bidang ilmu, baik ilmu-ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memiliki 2 (dua) macam obyek tersebut.
Obyek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikir (gegenstand), sesuatu hal yang diselidiki/dipelajari. Obyek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkrit atau hal-hal yang abstrak. Sedangkan obyek formal adalah cara memandang/meninjau yang dilakukan oleh seseorang peneliti terhadap obyek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Obyek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan suatu ilmu tapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain. Suatu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda
Ciri-ciri yang terkandung dalam pengertian ilmu pengetahuan dapat diuji untuk lebih memahami sifat dinamis pada ilmu pengetahuan. Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan adalah sebagai suatu bentuk aktivitas , yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia,berupa rangkaian aktivitas.
Proses dalam rangkaian aktivitas ini bersifat intelektual.,dan mengarah pada tujuan-tujuan tertentu. Aktivitas intelektual berarti kegiatan yang memerlukan kemampuan berpikir untuk melakukan penalaran logis atas hasil-hasil pengalaman empiris.
Seperti yang disampaikan oleh Paul Freedman bahwa ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang melalui pelaksanaannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman tentang alam yang senantiasa lebih cermat dan lebih meningkat, pada suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan diri sendiri terhadapnya dan mengubah lingkungannya dan mengubah ciri-cirinya sendiri. Ciri kedua dari ilmu adalah sebagai suatu produk hasil aktivitas manusia, dan ciri ketiga adalah metode.
3. Pengertian Filsafat dan filsafat ilmu
Secara etimologis filsafat berasal dari kata Yunani, philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata majemuk yang terjadi dari philos (cinta, suka ) dan sophia (kebijaksanaan). Dengan demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan sebagai cinta atau suka akan kebijaksanaan. Bijaksana berarti pandai (tahu dengan mendalam ) atau “ingin tahu dengan lebih mendalam”. Jadi filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan menggunakan akal budi (rasio) tentang sebab-sebab, asas-asas, hukum-hukum dan sebagainya,dari segala sesuatu yang ada di alam semesta tentang kebenaran dan arti dari keberadaan itu. Dengan kata lain, filsafat adalah usaha untuk mengerti dunia dalam makna dan nilai-nilainya.
Filsafat merupakan disiplin ilmu terkait dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehiduppan, karena dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus humanis), bukan asal bertindak sebagaimana yang biasa dilakukan manusia (actus homini).
Karakteristik berpikir filsafat adalah menyeluruh, mendasar dan spekulatif, sedangkan tugas utama filsafat menurut Wittgenstein, bukanlah menghasilkan sesusun pernyataan filsafati, melainkan menyatakan sebuah pernyataan sejelas mungkin, sehingga epistemologi dan bahasa merupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap ini.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu ( pengetahuan ilmiah ). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmuilmu sosial, namun karena permasalahan permasalahan tehnis yang bersifat khas maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial.
Berdasarkan hal tersebut maka terdapat beberapa pendapat mengenai filsafat ilmu, antara lain :
Menurut Robert Ackermann, filsafat ilmu adalah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmu dewasa ini yang dibanding dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan. Lewis White Beck berpendapat bahwa filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. Sedangkan Cornelius Benjamin berpendapat bahwa filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah secara sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan pra anggapan-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual, dan May Brodbeck menyatakan filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu. Kunto Wibisono mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah cabang dari ilmu filsafat, jika ilmu filsafat merupakan kegiatan berrefleksi secara mendasar dan integral, maka filsafat ilmu adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Berdasarkan pendapat –pendapat mengenai filsafat ilmu di atas maka ruang lingkup filsafat ilmu itu meliputi : komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu, sifat dasar ilmu pengetahuan, metode ilmiah, pra anggapan-pra anggapan, dan sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran,dimana dengan cara ini pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu rasional dan teruji. Maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Berpikir deduktif dan induktif disatu padukan dalam penelitian,dan kedua-duanya saling menunjang. Berpikir deduktif adalah dimulai secara umum dan berakhir secara khusus, sedangkan berpikir induktif adalah dimulai secara khusus dan berakhir secara umum.
Namun sebelumnya kedua metode tersebut mengalami pertentangan pada abad ke 17 dan 18, tokoh deduktif adalah Rene Descartes dan Immanuel Kant, sedangkan tokoh induktif adalah Francis Bacon dan David Hume.
a. Metode Deduktif
Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal saja yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak , yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal. Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar, karena akal dapat menurunkan kebenaran itu dari dirinya sendiri, dengan menerapkan metode deduktif. Rene Descartes, memulai metodenya dengan meragukan segala pernyataan kecuali pada satu pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang melakukan
keraguan itu sendiri. Pernyataannya terkenal dengan saya berpikir, jadi saya ada
(cogito ergosum) yang dianggapnya sebagai prinsip pertama dari filsafat.
Descartes, bertanya ,siapakah “aku’ ini. Bila ini ditanyakan, penyangsian metodis masih berlangsung terus..Satu-satunya kebenaran yang diketahui pasti pada saat ini adalah “aku ada”, tentang adanya suatu dunia materil, aku adalah substansi yang hakekatnya ialah berpikir, dan pada kodratnya “aku” adalah kesadaran.
Bagi Descartes, pernyataan tersebut adalah terang dan jelas, segala sesuatu yang bersifat terang dan jelas bagi akal pikiran manusia dapat dipakai sebagai dasar yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya untuk melakukan penjabaran terhadap pernyataan- pernyataan yang lain. Segenap ilmu pengetahuan harus didasarkan pada kepastian-kepastian yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya secara langsung dilihat dari akal pikiran manusia. Akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitrah. Jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya sendiri.Konsepsi fitri adalah ide “Tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Bagi Immanuel Kant, semua bidang pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta dua belas kategori.
Metode semacam ini disebut “ a priori “, dengan metode ini kita seakan-akan sudah mengetahui segala gejala secara pasti, meski dua belas kategori tersebut antara lain adalah :1.kuantitas, (unitas, pluralitas, totalitas). Kualitas (realitas, penafian, limitasi), hubungan (inherence, dan subtistence, kausalitas dan
ketergantungan, resiprositas komunitas antara agen dan pasien), modalitas (kemungkinan kemustahilan, ada tiada, keniscayaan ketakniscayaan) dan lainnya kita belum mempunyai pengalaman inderawi mengenai hal-hal yang kemudian
tampak sebagai gejala-gejala itu. Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
b. Metode Induktif
Sumber pengetahuan yang memadai adalah pengalaman, yaitu pengalaman lahir (dunia) dan pengalaman batin (pribadi manusia). Sedangkan akal hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan/data yang diperoleh melalui pengalaman. Menurut pendapat aliran empirisme metode ilmu pengetahuan bukan a priori tapi a posteriori yaitu metode yang berdasarkan hal-hal yang ada atau terjadinya kemudian. Aliran ini yakin bahwa manusia tidak punya innate ideas ( ide-ide bawaan).
Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, kemudian Thomas Hobbes dan David Hume. Bacon dengan metode eksperimennya, manusia melalui pengalaman dapat mengetahui benda- benda dan hukum-hukum relasi antara benda-benda. Thomas Hobbes, berbeda dengan pendahulunya John Locke, dia mengemukakan tentang asal mula gagasan manusia, kemudian menentukan faktafakta, menguji kepastian pengetahuan dan memeriksa batas-batas pengetahuan manusia. Empirisme ini kemudian dikembangkan oleh David Hume, yang menegaskan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh ilmu pengetahuan adalah pengalaman. Menurutnya manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Melalui pengamatannya manusia memperolelh dua hal yaitu kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian (ideas). Impression adalah pengamatan langsung diterima dari pengalaman, baik lahiriah maupun batiniah, sedangkan ideas merupakan gambaran tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar yang diperoleh dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui pengalaman langsung. R.Poedjawijatna menyatakan bahwa pengertian adalahhasil pengetahuan manusia mengenai aspek atau beberapa aspek realitas. Pada hakekatnya pemikiran Hume bersifat analitis, kritis dan skeptis. Ia berpangkal pada keyakinan bahwa hanya kesan-kesanlah yang pasti, jelas dan tidak dapat diragukan.Sehingga dia menyimpulkan bahwa “aku” termasuk dalam dunia khayal, sebab dunia hanya terdiri dari kesan-kesan yang terpisah-pisah, yang tidak dapat disusun secara obyektif, sistematis, karena tidak ada hubungan sebab akibat di antara kesan-kesan.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka dapat diketahui bahwa ciri khas pemikiran rasional bersifat a priori yang terdiri dari proposisi analitik, yaitu proposisi yang predikatnya sudah tercakup dalam subyek, sedangkan ciri khas pemikiran empiris adalah a posteriori, dengan proposisi sintetik yaitu yang tidak dapat diuji kebenarannya dengan menganalisis pernyataan, tapi harus diuji kebenarannya secara empiris.
Epistemologi adalah filsafat ilmu. Sifat filsafat adalah nalar atau pemikiran. Landasan ilmu adalah juga nalar , namun titik beratnya pada empiri, nalar untuk mengungkapkan alam empiri. Dengan demikian kita bisa melihat pertautan antara metodologi dan filsafat ilmu.
Metodologi merupakan upaya untuk mengembangkan sains, sehingga baik metodologi maupun epistemologi (filsafat ilmu) adalah keduanya perlu dan penting, dan tidak dapat hanya mempelajari salah satunya saja. Mempelajari metodologi tanpa menjamah epistemologi ( filsafat ilmu) akan sampai pada kedangkalan ilmu.
Bertitik tolak dari pendapat yang dikemukakan oleh Descartes, bahwa kebenaran diketahui pasti pada saat aku ada, aku adalah substansi yang pada hakekatnya berpikir, dan aku kodratnya adalah kesadaran. Manusia sejak dilahirkan dilengkapi dengan alat atau dayanya yaitu pikir, budi dan akal, dengan daya tersebut manusia dapat berpikir. Berpikir tidaklah mudah, mungkin orang salah dalam berpikir itu, bukan pengetahuannya yang salah melainkan jalan pikirannya yang tidak lurus, atau tidak sesuai aturan. Aturan yang membawa manusia agar berpikir tidak menyimpang adalah logika. Manusia berpikir itu untuk tahu, kalau ia berpikir tidak semestinya mungkin ia tidak akan mencapai pengetahuan yang benar. Hal demikian pula yang dipikirkan oleh Descartes, bahwa sampai saat ini belum ada orang yang mengupayakan metode serasi untuk mencapai kepastian dalam ilmu pengetahuan. Agar filsafat dan seluruh ilmu pengetahuan dapat didasarkan pada kepastian maka perlu dicari kebenaran yang dapat menjawab kesangsian tersebut melalui percobaan dengan “metode penyangsian”, yang akhirnya dia merumuskan “Cogito ergosum”( saya berpikir , jadi saya ada). Dengan proposisi a priori yang analitik, pemikiran Descartes tersebut dipandang pemikiran yang kaku karena memulai tahap pemaparan pikirannya tersebut, ia tidak merasa perlu menerima bentuk-bentuk silogisme dalam logika. Bahkan lebih percaya bahwa pengetahuan mengenai eksistensinya melalui pemikiran merupakan suatu masalah intuitif yang tidak memerlukan bentuk-bentuk silogistik dan penerimaan premis-premis mayor dan minor, dia membenarkan sesuatu tidak mungkin maujud dari ketiadaan (ex nihilo nihilfit), maka ia tahu bahwa konsep fitri dalam pikirannya itu mempunyai “sebab”. Dia sendiri bukan menjadi sebab bagi konsep itu, karena konsep itu lebih tinggi dan sempurna daripada dirinya., yaitu Tuhan. Dengan demikian pemikiran rasional yang dikemukakannya tidak dapat dianggap sebagai metode dalam pembuktian ilmiah atas eksistensinya melalui pkirannya.
Dengan demikian pemikiran atau metode deduktif yang
dikemukakannya belum dapat memberikan kesimpulan yang bersifat final, karena
sesuai dengan sifat rasionalisme yang pluralistik maka dimungkinkan disusunnya
berbagai jawaban atau penjelasan atas suatu persoalan yang menjadi obyek pemikiran. Meskipun dalam argumentasi yang rasional didasarkan pada premis Descartes dalam menggunakan metode deduktifnya adalah secara matematis, dengan pola pikir Intuition-deduction. Intuition adalah pemula pemikiran, tanpa pemula pemikiran ini orang tidak akan menghasilkan pemikiran baru, intuitif sifatnya gaib, premis ilmiah yang teruji kebenarannya namun ada kemungkinan terdapat pilihan kesimpulan yang berbeda-beda.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam mencari kebenaran ilmiah metode deduktif harus didampingi oleh metode induktif. Pemikiran empiris yang dikemukakan oleh Bacon menyatakan bahwa manusia melalui pengalamannya dapat mengetahui benda-benda dan hukum-hukum relasi antar benda-benda. Sedangkan Hume mengemukakan sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman, dengan pengamatan manusia memperoleh kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian (ideas). Pemikiran induktif mempunyai proposisi a posteriori , sintetik yang berarti tidak dapat diuji kebenarannya hanya dengan analitis pernyataan tapi harus diuji secara empiris. Teori empirikal berdasarkan atas eksperimentasi. Eksperimen ilmiah telah menunjukkan bahwa indera adalah yang memberikan persepsi-persepsi yang menghasilkan konsepsi-konsepsi manusia. Berpikir secara induktif dianggap lebih luwes dibandingkan dengan deduktif karena menggunakan data-data empirik yang tidak dipatok oleh pola apapun, dan berdasar data-data empiriklah kemudian disusun suatu model yang menggambarkan hubungan sebab-akibat. Kaum empiris mengembangkan pengamatannya dari pengalaman itu menjadi pengetahuan yang cakupannya lebih luas dan umum. Namun demikian induktif ini juga mempunyai kelemahan yang fundamental yaitu orang harus menunnggu terkumpulnya sejumlah fakta untuk menentukan suatu pola yang tampak pada seseorang dari alam empiris,dan apabila terjadi kesalahan dalam melakukan perumusan akan merugikan berbagai pihak.
Namun juga harus diperhatikan bahwa eksperimen manusia , secara umum tidak dapat membuka jalan untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dan realitas-realitas tanpa pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Sehingga penggabungan antara metode deduktif dengan induktiflah yang paling tepat, dalam rangka mencari kebenaran ilmiah. Metode ilmiah mencoba menggabungkan berpikir deduktif dengan berpikir induktif dalam membangun pengetahuannya. Argumentasi rasional meski didasarkan pada premis ilmiah yang teruji kebenarannya mungkin saja terjadi kesalahan dalam penyusunan argumentasi, sehingga untuk menghindari kesalahan tersebut perlu dipergunakan metode induktif yang didasarkan pada kebenaran korespondensi.
Metode ilmiah merupakan gabungan metode deduktif dan induktif yang mana deduktif (rasionalisme) memberikan kerangka pemikiran yang logis, sedangkan metode induktif (empirisme) memberikan kerangka pembuktian atau kerangka pengujian untuk memastikan suatu kebenaran. Kerangka pemikiran demikian disebut dengan “deducto-hypothetico-verifikatif”, dengan langkah-langkahnya sebagai berikut :1) Perumusan masalah, 2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengujian hipotesis, 3) Perumusan hipotesis, 4) Pengujian hipotesis, 5) Penarikan kesimpulan.
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu sifatnya tidak absolut karena sifat pragmatis dari ilmu. Ilmu tidak bertujuan mencari kebenaran absolut, melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia.
Berkaitan dengan masalah hubungan filsafat ilmu dengan metode ilmiah, maka dapat dijelaskan bahwa metode ilmiah merupakan bagian dari ruang lingkup filsafat ilmu. Apabila memperhatikan pendapat dari Lewis White Beck , bahwa filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan., nampak bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara filsafat ilmu dengan metode ilmiah karena pada hakekatnya tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusiaan yang luas. Filsafat berusaha untuk menyatukan masing-masing ilmu, karena filsafat itu merupakan salah satu bagian
dariproses pendidikan secara alami dari mahluk yang berpikir yaitu manuisa.
Manusia dalam mencari kebenaran dapat menggunakan metode ilmiah yaitu yang menggabungkan metode deduktif dan induktif , yang dikenal dengan “deducto hypothetico-verifikatif”, walaupun kebenarannya bersifat relatif karena ilmu pengetahuan berkembang terus agar dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia, sesuai dengan aspek epistemologi dan aksiologi dari ilmu itu sendiri.
KESIMPULAN
Berdasarkan hal- hal yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara filsafat ilmu dengan metode ilmiah adalah metode ilmiah merupakan bagian dari ruang lingkup filsafat ilmu.
Metode ilmiah merupakan metode yang menggabungkan metode deduktif dengan metode induktif, yang dikenal dengan “ deducto–hypothetico–verifikatif.”. Dengan metode ilmiah manusia berusaha terus untuk mendapatkan kebenaran ilmiah dari suatu obyek penelitian., yang hasilnya diharapkan dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Hal ini tentunya sesuai dengan aspek epistemologi dan aksiologi dari ilmu.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin cepat, pengaruhnya sangat besar terhadap kehidupan manusia, untuk itulah keberadaan filsafat sangat diperlukan untuk menjembatani ilmu-ilmu yang seakan terputus satu sama lain, sehingga tetap mempunyai hubungan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
E. Saefullah Wiradipradja, Filsafat Ilmu, Bahan Kuliah, Program Doktor Ilmu
Hukum, Program Pascasarjana, UNPAD, Bandung, 2009
H. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya, Bina Ilmu,
1987
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Gelora
Aksara Pratama, 1990
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta,
Liberty, 1996
No comments:
Post a Comment