PERKEMBANGAN
DAN ALIRAN FILSAFAT KONTEMPORER
ABSTRAK
Perkembangan
dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu.
Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya
berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu.
Tahap-tahap perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai
periodesasi sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman
pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Begitu
pula dengan filsafat, dalam perkembangannya filsafat dibagi menjadi 4
babakan yakni Filsafat klasik meliputi
filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M
dominasi oleh rasionalisme. Filsafat
abad pertengahan meliputi
pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada
abad ke-15 M
didominasi dengan doktrin-doktrin agama Kristen.
Filsafat
modern dan filsafat kontemporer yang
didominasi
kritik terhadap filsafat modern.
Pada
zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat.
Seluruh
pengembangan tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan dan
kelancaran manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Pemikiran
pada periode ini memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis
pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal
yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh Habermas bahwa
keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.
Dalam
makalah ini penulis akan kemukakan sejarah munculnya
filsafat kontemporer sebagai
‘isme’ yang mengritik modernitas, juga akan dipaparkan beberapa
tokoh pada periode ini,
ajarana-ajaran pokok
dan sumbangih pemikirannya terhadap ilmu pengetahuan masa kini.
PEMBAHASAN
FILSAFAT
KONTEMPORER
Filsafat
kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi
pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis
bahasa, kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social,
metodologi (fenomenologi, heremeutika, strukturalisme), filsafat
hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, samapai filsafat tentang
perempuan (Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh
para filsuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa
manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang
mengungkung hidup manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan
budaya, social, politik, ekonomi, teknologi, moral, ilmu pengetahuan,
dan hak asasi manusia.
Ciri
lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi
disiplin filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya professional di
bidang masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk
komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi professional
dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka
masing-masing (Zaenal, 2011: 124).
Sejumlah
filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: Wilhelm
Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson
(1858-1941), Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970)
dll.
- PRAGMATISME
- Terminologi Pragmatisme
Pragmatisme
berasal
dari kata “pragma”
(bahasa Yunani) yang berarti artinya adalah tindakan atau perbuatan.
Pragmatisme
adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria
kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata ( Hakim, dkk, 2008:319).
Pragmatism
berpandangan
bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi
dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebenaran,
jika agama memberikan kebahagiaan. Menjadi dosen adalah kebenaran
jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apapun
yang bernilai kuantitatif atau kualitatif. Sebaliknya jika memberikan
kemudharatan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran.
- Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme
Pragmatisme
mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914),
filosof Amerika yang yang pertama kali menggunakan pragmatisme
sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat
juga pada Socrates, Aristoteles, Barkeley, dan Hume. Untuk mengetahui
lebih jauh ajaran pragmatisme alangka baiknya kita mempelajari
tokoh-tokoh yang menpopulerkan dan pandangannya :
- C.S. Peirce (1839-1914)
Peirce,
seorang matematikus, fisikawan, filosof pendiri aliran pragmatism,
dilahirkan di Cambrigde, Massachausetts pada tahun 1839. Peirce
mendalami filsafat dan logika hingga masa ia kerja pada instansi
survei panata dan geodesi. Sebagai filosof yang sistematik,
tulisan-tulisan Peirce mencakup hampir segala aspek filsafat.
Sumbangannya
yang terbesar adalah dalam bidang logika, tetapi ia juga secara luas
menulis tentang epistimologi, metode ilmiah, semiotics, metafisika,
kosmologi, ontology, matematika dan sedikit tentang etika, agama,
sejarah, dan fenomenologi. Berbagai buah pemikiran filsafatnya di
dalam beberapa system yang merupakan fase-fase perkembangan
kematangannnya dalam olah intelektual. Akan tetapi, semua itu menyatu
dan menjadi konsep yang utuh.
Karya-Karya
Charles Sanders Pierce diantaranya :
- Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).
- The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992, 1998).
- The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I Arithmetic, Volume II Algebra and Geometry, Volume III/1 and III/2 Mathematical Miscellanea, Volume IV Mathematical Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The Hague, 1976).
Pierce
banyak memberikan sumbangan pemikiran yang penting bagi filsafat
pragmatisme. Diantara sumbangan terpenting pemikiran kefilsafatan
pragmatisme pierce adalah theory
of meaning sebagai
salah satu aspek epistimologi, khususnya implikasinya dalam bahasa.
Pragmatism berusaha menemukan asal mula serta hakikat terdalam segala
sesuatu merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun kegiatan
tersebut luar biasa sulitnya.
Penganut
pragmatism menaruh perhatian pada praktik. Mereka memandang hidup
manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup yang berlangsung
terus-menerus dan yang terpenting ialah konsekuensi yang bersifat
praktis. Konsekuensi tersebut erat sekali hubungannya dengan makna
dan kebenaran.
- William James (1842-1910 M)
William
James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr.
ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir
yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan
kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan
humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya.
William
James (1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang
membuat pragmatism menjadi terkenal diseluruh dunia. William James
mengatakan bahwa secara ringkas pragmatism adalah realitas
sebagaimana yang kita ketahui (Tafsir, Filsafat Umum: 190).
Pemikiran
filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya ia mengalami
konflik antara pandangan agam. Ia beranggapan bahwa masalah kebenaran
tentang asal tujuan dan hakikat bagi orang Amerika adalah teoritis.
James
menginginkan
hasil yang kongkret (Muzairi,2009:141).
Dengan
demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah
diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Kaitannya dengan
agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan maka ide-ide
itu benar.
Karya-karyanya
antara lain, Tha
Principles of Psychology
(1890),
The
Sentiment of Rationality (1879),
The
Dilemma of Determinism
(1884),
The
Will to Believe
(1897), The
Varietes of Religious Experience
(1902),
Pragmatism
(1907),
The
Meaning of Truth (1909),
dll.
Karena
terbitnya buku, Pragmatism
(1907),
The
Meaning of Truth (1909),
gerakan pragmatism meluncur seolah-olah akan menguasai filsafat abad
ke-20. Pragmatism lebih banyak disangkutkan dengan James daripada
dengan Peirce sekalipun James berhutang banyak pada Peirce dalam
mengembangkan pragmatism sebagai suatu metode. James memang berbeda
dengan Peirce. Peirce tidak bersedia menggunakan pragmatism dan
filsafat ilmiahnya pada masalah penting yang vital seperti maslah
agama, moral, atau kehidupan personal. Akan tetapi, justru disinilah
filsafat pragmatism James memfokuskan diri. Bagi James kepercayaan
bukanlah sekadar aturan-aturan bertindak atau idea yang dengannya
kita siap untuk bertindak. Kepercayaan adalah sesuatu yang berguna di
dalam membuat sesuatu terjadi, dalam membuat sesuatu pasti benar
(Tafsir, 2001:194).
- John Dewey (1859-1952)
John Dewey
adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial
yang lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Ia masuk ke
Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia
kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana
dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di
universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah
mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya
pragmatisme.
Ia
kemudian mendirikan Laboratory
School yang
kelak dikenal dengan nama The
Dewey School.
Sebagai
pengikut filsafat pragmatism, John Dewey menyatakan bahwa tugas
filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat
tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang
praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus
berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara praktis.
Menurutnya
tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah,
jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan
itu. Oleh karena itu, berfikir merupakan alat (instrumen) untuk
bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil
tidaknya memengaruhi kenyataan, satu-satunya cara yang dapat
dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang
sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku
bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan
social dan moral (Hakim, dkk, 2008: 321).
Karya-karya
Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga
banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya.
Bukunya yang pertama yakni Psychology
yang
diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines
of a Critica Theory of Etics diterbitkan.
Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The
Study Of Etics: A Syllabus.
Ketika ia berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia
menerbitkan My
Pedagogic Creed (1897),
The
School and Society (1903),
dan Logical
Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903),
dll.
Nampak
jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada
bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi
perhatian Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan pada
realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal ini nampak dalam
tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan seni.
- Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Diakui atau
tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir
bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek
kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh
sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan
adalah John Dewey (1859 – 1952). Pragmatisme Dewey merupakan
sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James.
Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi,
filsafat,
politik, dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan
mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan
misalnya,
menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada
metode hafalan materi pelajaran.
Filsafat
tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan
merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan
mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan
kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema
tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat
dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan
kesulitan tersebut.
Sumbangan
dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktik demokrasi. Dalam
kondisi ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk
meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi. Pandangan dan
gagasan filsafat ilmu berkembang dalam dialektika yang sangat
dinamis. Hal ini karena berbagai pemikiran baru muncul menggantikan
konsep-konsep dan pikiran lama.
- EKSISTENSIALISME
Kata
dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa
Latin ex
yang
berarti keluar dan sistere
yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar
dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri,
manusia sadar tentang dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai “aku”
atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein
(da
artinya di sana, sein
artinya berada)
(Tafsir, 2009:218).
Berdasarkan
uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu
menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu
susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya,
jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam
keadaan membelum, ia selalu sedang ini atau sedang itu (Tafsir,
1992:191)
Untuk
lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini,
perlu dibedakan dengan filsafat eksistensi. Filsafat eksistensi yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama.
Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga, akan tetapi cara
beradanya tidaklah sama antar keduanya. Manusia berada di dalam
dunia, ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari dirinya
berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti
yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah
satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti.
Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari,
yang sadar. Barang-barang yang disadarinya tersebut disebut dengan
obyek
(Hasan,
1974:7)
Ciri-ciri
aliran eksistensialisme meliputi:
- Orang yang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan sesungguhnya;
- Orang yang berhubungan dengan dunia yang ada;
- Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badan;
- Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.
- Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme
Tokoh-tokoh
pada aliran Eksistensialisme
diantaranya: Sooren Kierkegaard (1815-1855), Martin Haidegger
(1889-1976), Karr Jaspers (1883-1969). Ketiganya ini berasal dari
Jerman, sedang tokoh dari Prancis adalah Gabriel Marcel (1889-1973),
Jean Paul Sartre (1905-1980) dan masih banyak lagi diantaranya Albert
Camus dan Simon Beauvoirh.
- Søren Aabye Kierkegaard
Søren
Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf pada abad ke-19. Dia lahir
pada tanggal 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark dan meninggal dunia
tanggal 11 November 1855 saat berumur 42 tahun. saat ini soren
dianggap sebagai bapak filsuf eksistensialisme. Ajarannya beraliran
eksistensialisme dan dia sangat bertentangan dengan Hegelian. Ayah
dari Søren Kierkegaard bernama Michael Pedersen Kierkegaard, adalah
seseorang yang sangat taat terhadap agama. Dia yakin bahwa ia
telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari
anak-anaknya akan mencapai umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu
33 tahun. Pekerjaan ayahnya sebagai pedagang grosir yang menjual
kain, pakaian, dan makanan. Awal mula Søren Kierkegaard mempelajari
ilmu filsafat ketika ia bersekolah di sekolah khusus kaum lelaki di
Borgerdydskolen. Sedangkan ibu Søren Kierkegaard bernama Anne
Sørensdatter Lund Kierkegaard.
(Dagun,
1990:47).
Søren
Kierkegaard merupakan anak terakhir dari ketujuh bersaudaranya.
Banyak dari saudara-saudaranya yang meninggal dunia ketika di usia
muda. Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9
Agustus 1838 pada
usia 82 tahun. Sebelum ayahnya meninggal dunia, ayahnya meminta Søren
agar menjadi pendeta. Saat itu Søren sangat merasa terbebani dengan
permintaan dari ayahnya. Regine Olsen sangat memiliki pengaruh yang
cukup besar dalam hidup Søren, Regine merupakan orang yang dicintai
oleh Søren. Søren berjumpa dengan Regine pada 8
Mei 1837 dan
segera tertarik kepadanya, begitupun sebaliknya dengan Regine. Hingga
akhirnya pada tanggal 8
September 1840,
Søren resmi menikahi Regine. Namun pada akhirnya Søren merasakan
kecewa dan melankolis dengan pernikahannya. Kurang dari satu tahun
pernikahannya ia pun menyelesaikan pernikahannya dengan Regine. Dalam
catatannya, Søren mengatakan bahwa sifat melankolis yang dimilikinya
membuatnya tidak cocok untuk menikah. Walaupun sampai dia meninggal
alasan mengapa dia menyelesaikan pernikahannya tidaklah jelas.
(Dagun,
1990:48-49).
Ajaran yang
diberikan oleh Søren adalah mengenai eksistensialisme. Yang artinya
adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, hal ini berpusat pada
manusia individu. Kebebasan ini sering ditemukan oleh manusia. Karena
setiap manusia menginginkan adanya
sebuah kebebasan tanpa memikirkan yang mana yang benar dan yang tidak
benar. Sesungguhnya bukan mereka tidak memikirkan hal tersebut,
melainkan mereka mengetahui batas kebebasannya masing-masing. Karena
kebebasan bersifat relatif. Søren juga dikenal akan filsuf yang
mengajarkan akan kecemasan dan keputusasaan eksistensial. (Dagun,
1990:49).
Eksistensialisme
mempersoalkan akan adanya keberdaan manusia, dan keberadaan itu yang
datang dari kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan adalah sebuah
kebebasan yang bertanggung jawab, dimana setiap manusia mengetahui
dimana kebebasan mereka. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan
sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah maksud
dari eksitensialisme.
Søren
menggambarkan tentang eksistensialisme manusia dalam perkembangan
religius. Dari apa yang disebutkan Søren tahap estetis, tahap etis,
hingga tahapan religius. Tahapan estetis adalah tahapan pertama
ketika manusia berada dalam pandangan kesenangan terhadap indrawi,
dimana manusia mencari kesenangan mereka masing-masing. Tahapan
selanjutnya merupakan pada saat manusia terjun ke dalam keberadaan
itu dengan mulai mempertimbangkan hal yang benar dan salah. Lalu
tahapan yang terkahir adalah tentang keimanan. Disini Soren
menempatkan Abraham sebagai tolak ukur akan keimanan. Dalam hal ini
kita tidak dapat membedakan mana yang salah dan benar, karena dalam
keimanan ini adalah hubungan langsung manusia dengan Allah. Soren pun
tidak dapat mengkategorikannya, karena menurutnya ini dinilai begitu
tidak umum.
Ajaran-ajaran
Soren baru terkenal setelah berpuluh-puluh tahun setelah
kematiannya. Karyanya tersebar di daerah Eropa, khususnya di daerah
Denmark. Namu saat itu Gereja-Gerejad di sekitar Denmark menolak akan
adanya karya-karya Soren. Karena ada pengaruh akan karya yang dibuat
oleh Soren yang berjudul “Fear
and Trembling”.
Namun pada abad ke 20-an banyak filsuf yang ternyata menggunakan
konsep Soren, mengenai pemahaman kecemasan, dan keputusasaan serta
pentingnya individu manusia.
Soren
sangat bertentangan akan ajaran dari Hegelian. Sehingga dia sering
menjadi kritikus akan ajaran Hegel. Pemikiran yang ia kemukakkan
adalah sebagai kritik atas Hegel, yang menekankan pada aspek
subjektivisme. Hal ini akan membuat individu melupakan tanggung jawab
pribadinya secara etis, bahkan akan menghilangkan eksistensi.
- Jean Paul Sartre
Tekanan
Kiekegaard pada pentingnya arti eksistensi individu itu telah
melahirkan semacam kesadaran umum pada tanggung jawab setiappribadi
dalam kehidupan ini. Pandangan tentang pentingnya
arti manusia sebagai pribadi
inilah karyanya yang kelak menjadi intisari filsafat yang kelak
dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensialisme yang dengan
cepat mendapat sambutan hampir diseluruh dunia.
Seklipun
pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan pemikiran
kiekegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang teramat jauh.
Bagi Sartre eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini
amat janggal, karena biasanya sesuatu harus ada essensinya lebih
dulusebelum keberadaannya.
Filsafat
eksistensialisme membicarakan cara berada didunia ini terutama cara
beradanya
manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud
manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu khusus hanya ada
pada manusia, karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang,
tumbuhan, bebatuan memang ada tetapi mereka tidak dapat disebut
bereksistensi. Filsafat eksistensialisme mendamparkan manusia
kedunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya sendiri.
(Tafsir:225)
Menurut
ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului essensinya.
Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan dan bebatuan yang essensinya
mendahului eksistensinya. Didalam filsafat idealisme, wujud nyata
(existency)
dianggap mengikuti hakekat (essen)-nya,
jadi, hakekat manusia memliki cirri khas tertentu, dan cirri itu yang
membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Manusia harus menciptakan
eksistensinya sendiri. Oleh karena itu dikatakan eksistensi manusia
mendahului essensinya. (Struhl dan Struhl, 972:33,35). Dan formula
ini merupakan prinsip utama dan pertama didalam filsafat
eksistensialisme. Berikut ini dijelaskan apa yang dimaksud dengan
eksistensi manusia mendahului essensinya (existence
precedes essence)
itu. Jika seseorng ingin membuat suatu barang misalnya sebuah buku.
Ia mestinya talah mempunyai konsep (image, atau dll) tentang buku
yang akan dibuatnya itu. Selanjutnya dibuatlah buku tersebut sesuai
dengan konsep yang telah ada padanya. Dalam konteks pembicaraan ini
kita tidak dapat membayangkan seseorang dapat membuat buku tanpa
didahului oleh suatu konsep tentang buku. Dapatlah dikatakan bahwa
konsep buku merupakan essensi
buku dan wujud buku adalaheksistensinya.
Jelaslah
bahwa kehadiran buku itu ditentukan oleh pembuatnya, yaitu manusia.
Maka, untuk buku berlaku essensi mendahului eksistensinya. Ini
tentulah formula yang biasa, yang tidak biasa adalah apabila
eksistensi manusia mendahului essensinya. Sebagaimana yang telah
diajarkan oleh eksistensialisme itu, untuk manusia. (Tafsir:225)
Bagi
Sartre adalah tidak adanya Tuhan. Jika Tuhan ada maka Tuhan akan
membatasi kebebasan manusia. Bagi Sartre, karena manusia itu bebas
maka Tuhan tidak boleh ada. Bagi Sartre Tuhan adalah esensi, manusia
adalah eksistensi, maka eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dan
“terlibat” dalam dunia baru kemudian mendefinisikan dirinya.
(Wibowo.2011:23)
Sartre
pada masa kecilnya mendapatkan gambaran mengenai Tuhan dari
keluarganya. Tuhan dalam gambaran diri Sartre adalah polisi yang
mahatahu dan mahabesar. Tuhan digambarkan sebagai “yang menakutkan”
dan selalu mengawasi tindak tanduknya. Ketika dirinya melakukan
kesalahan tatapan mata Tuhan (le regard) menjadi ancaman bagi
dirinya. Segala suara seperti langkah kaki, suara pintu yang
berdecit, suara gerakan seakan menjadi “tatapan” mata Tuhan yang
selalu mengawasi. Tatapan Tuhan menjadi ancaman. Hingga pada suatu
ketika dirinya berusia 12 tahun, Sartre mengatakan dengan terperanjat
bahwa Tuhan tidak eksis, kemudian dirinya mengganggap perkara yang
dihadapinya sudah selesai. (Wibowo.2011:2
Sartre
menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti
ia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar bahwa ia
berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia,
inilah yang dianggap sebagi ajaran yang utama dan pertama dari
filsafat eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas
dirinya sendiri, itu bukan berarti ai bertanggung jawab untuk dirinya
sendiri tetapi juga pada seluruh manusia.
Tampaklah
oleh kita bahwa pendapat Sartre tentang eksistensi manusia bukan
hendak menjelaskan keadaan beradanya manusia ditengah manusia dan
bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab
yang hendaknya dipukul manusia. Munculnya pemikiran ini tidaklah
mengherankan apabila kita membayangkan keadaan dunia pada saat itu,
khususnya eropa barat tempat tinggal Sartre. Di Eropa Barat hidup
dinikmati dan dinikmatkan dengan cara yang sehebat-hebatnya
(Drijakara:86). Keadaan ini merupakan pengaruh berbagai sistem
pemikiran yang hidup ketika itu
Sartre
adalah filosof ateis: Itu dinyatakannya secara terang-terangan.
Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau
sekurang-kurangnya manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu,
konsepnya tentang manusia ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Dari
pemikiran ini ia menemukan bahwa eksistensi manusia, mendahului
esensinya. Seandainya pemikiran ini diajukan untuk menekankan
tanggung jawab manusia, itu tidaklah sulit jika ia percaya kepada
Tuhan.
Eksistensi
manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri
bahwa ia barhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri lain
hakikat keberadaan manusia. Orang eksistensialisme berpendapat bahwa
salah satu watak keberadaan manusia ialah takut. (Bierman dan Gauld,
1973:602). Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya
di duni ini. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari
dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari ia telah memilih untuk
berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk
memutuskan
bagi
dirinya dan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat itu pula manusia
merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh
(StruhI dan StruhI:38
Manusia
itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan,
memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian
tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan
untuk dirinya dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut
Sartre, demikian juga Heidegger (Beerling,223-24), manusia tidak
solider, tetapi soliter. Ia memikul berat dunia seoarang diri.
Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Sartre ”adalah
nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan
sedikitpun” (Beerling:232).
Manusia
harus memutuskan. Dalam memutuskan saya tidak mempunyai bukti atau
alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan
saya itu benar, tanpa bantuan orang lain, dan saya harus
mempertanggungjawabkannya. Ini menimbulkan rasa takut. Takut itu
bukanlah suatu suasana batin yang biasa, melainkan suatu suasana
batin yang pokok. Rasa ini harus dibedakan dari getar. Getar itu
jelas objeknya, sedangkan takut tidak menentu objeknya, tidak jelas
takut pada apa. Kita tidak pernah mengetahui dengan tepat terhadap
apa kita takut. Takut itu datangnya tiba-tiba, secara tiba-tiba
kadang-kadang ia menghilang. Seolah-olah manusia takut kepada yang
tidak ada, seperti orang yang takut pada gelap. Takut itu sebenarnya
adalah takut kepada wujud. Wujud itulah yang mengasingkan kita dan
membuat kita menjadi terpecil (lihat Beerling: 223 -24).
Akan
tetapi, mestikah demikian? Tidak mungkinkah disamping rasa takut
manusia memiliki rasa beranidan gembira karena ia boleh bartanggung
jawab?. Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan manusia berdiri
sendiri. Ini karena dia ateis. Apabila teis , manusia akan tahu bahwa
dalam memutuskan ia tidak berdiri sendiri, ajaran tuhan selalu
bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut muncul arena adanya kesadaran
pada manusia bahwa ia manusia. Rasa seperti itu tidak ada pada hewan,
tumbuhan dan bebatuan.
Bagi
Sartre, karena manusia pengada yang sadar (letre-pour-soi)
persoalannya menjadi rumit. Perta ia sadar. Dari sinilah muncul
tanggung jawab. Karena tanggung jawab, manusia harus menentukan. Dari
sinilah muncul kesendirian (kesepian), lalu rasa takut muncul.
Kemudian Sartre menambahkan lagi”: dari kesadaran itu muncul
penyangkalan (neantser)
manusia itu selalu menyangkal. Dengan kesadaran itu manusia menyadari
bahwa ia tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataannnya manusia itu
termuat dalam suatu perbuatan. Tentang berbuat itu manusia sadar ia
berbuat. Tentang perbuatan itu manusia menyadari bahwa ia selalu
dalam peralihan. Disinilah letak kerumitan manusia itu, demikian
Sartr
Manusia
itu setelah menyadari dirinya, ia membantahnya, menyangkalnya. Ia
membantah itu dengan mengalih, menuju yang lain. Setelah yang lain
itu tercapai, pada waktu itulah ia menyanglkalnya. Apa yang telah
dicapai pasti mengingkari. Manusia harus berbuat sementara hasil
berbuatnya tidak akan memuaskan dirinya. Seakan-akan berbuat itu
semacam hukuman yang tak terelakkan lagi.Jadi, manusia itu selalu
berubah. Hakekat penyangkalan itu dapat dirumuskan dalam kalimt
ini:“yang
ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada”.
Jadi manusia itu laksana orang yang mengejar bayangannya. Menurut
Sartre itulah hakekat manusia. Disini tergambarlah suatu filsafat
pustus asauntuk apa mengejar sesuatu padahal sudah diketahui jika
sesuatu itu dicapai, ia akan mengingkarinya. Jadi, semua usaha
diketahui akan berakhir sia-sia. Tetapi manusia harus berbuat. Ia
harus meluncur terus samapi ia terengah-engah kepayahan. Untuk
membtbaskan diri dari hukuman ituhnya ada dua kemungkinan: menjadi
yang tak berkesadaran (en-soi, hewan tumbuhan , batu) atau bunuh
diri. Menjadi en-soi tidak mungkin, yang mungkin adalah bunuh diri.
Akan
tetapi, benarkah hakikat beradanya manusia seperti yang dikatakan
oleh Sartre itu? Dengan mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal,
Sartre lupa bahwa juga dapat membangun. Memang betul berbuat berarti
mengalih, menuju kepada yang lain. Memang ada perbuatan yang tidak
membangun. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa manusia harus
bertanggung jawab? Ini haruslah berarti bahwa manusia harus
membangun; ia harus membangun dirinya dan dunia. Terasa ada
kontradiksi di sini.
Bila
Sartre mengatakan bahwa segala perbuataan manusia tanpa tujuan,
karena tidak ada yang tetap (selalu disangkal), jadi manusia tanpa
harapan, maka hal ini tidak harus diartikan dinamikan hidup, tanda
manusia ingin membangun dirinya dan dunia. Masalahnya sebatulnya:
apakah manusia dapat merasa puas? Jawabannya terletak pada orangnya.
Bila orangnya dijajah oleh nafsunya, maka ia tidak akan pernah merasa
puas. Yang inilah filsafat Sartre itu. Adapun orang yang selalu ingin
yang lebih baik, tidak mesti ia selalu merasa tidak puas. Filsafat
ini harus dipahami dari pandangan ateisme.
Manusia
harus berbuat, dan harus pula mengingkari hasilnya. Ini hukuman.
Keadaan ini menimbulkan rasa muak (In
nausee).
Kata ini dapat berarti muak, mual, Jemu, rasa hendak muntah.
Mengapa
mual? Karena tidak ada harapan. Manusia itu dihukum. Ia harus
menghadapi kenyataan itu. Manusia harus mengadakan perubahan, jadi
akan muncul ketidaktetapan, kekacauan. Karena tidak ada yang tetap,
maka tidak ada yang diharapkan. Jelas, hal ini menimbulkan kejemuan,
kemualan, ketertindasan, putus asa. Demikian memang reallitas hidup
ini menurut Sartre
(Drijarkara:75)
Pikiran
ini satu mata rantai dalam rangkaian pemikiran Sartre tentang hakikat
wujud manusia. Sangat erat dengan formula “yang ada tidak dimaui
dan yang dimaui ilah yang belum ada”. Manusia selalu membelum,
menjadi.
Filsafat
ini tidak sesuai dengan kenyataan. Ada juga, bahkan banyak, orang
yang dalam hidupnya mempunyai harapan. Banyak orang yang tidak
merasakan hidupnya kosong. Sartre kurang cermat dalam menggambarkan
hakikat keberadaa manusia.
Sebagian
besar buku Sartre berisi uraian yang tajam damn sinis tentang
hubungan antarmanusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan
kesadaran yang lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia,
dalam instansi yang terakhir ialah revalitas dan konflik. Saya
menekati orang lain, menurut Sartre tidak dapat diartikan selain
bahwa saya hendak merebutnya, saya hendak menjadikannya objek
(Beerling:230-31). Orang lain itu pun demikian terhadap saya.
Selanjutnya Sartre menyimpulkan bahwa ada bersama itu berupa konflik
atau permusuhan terus-menerus. Oleh karena itu, sifat malu, gentar,
sombong adalah perasaan-perasaan asal, yang berupa reaksi saya
tatkala bertemu dengan orang lain (Beerling:231). Jadi, di dalam
hubungan antarmanusia itu, menurut Sartre, hanya ada dua kemungkinan:
menjadi subjek atau maenjadi objek, memakan atau dimakan
(Drijarkara:89). Kelihatannya
Sartre sedikit “lembut” tatkala ia mengatakan bahwa relasi
antarmanusia terjadi juga karena ikatan cinta kasih. Dalam cinta
kasih pihak lain kepadaku, demikian Sartre, eksistensiku diakui,
badanku diinginkan, aku dihargai (Peursen:226). Di sini sifat saling
merendahkan, saling memakan, seperti menghilang dari filsafat Sartre.
Sekalipun demikian, demikian Sartre, dalam hubungan cinta kasih ini
pun konflik tetap ada (Peursen:226).
Di
sini kita menyaksikan untuk kesekian kalinya dilema dalam filsafat
Sartre: di satu pihak seseorang memerlukan orang lain agar ia dapat
menjalani eksistensinya, tetapi di pihak lain ada bersama itu
merupakan permusuhan. Tepat kata Hobbes: manusia ditakdirkan saling
memusuhi. Sekarang semakin lengkaplah keterhukuman manusia,
keterdamparannya, dan kesengsaraannya. Semakin jelas mengapa hidup
itu dikatakan memuakkan, putus asa.
Berikut
kita berikan sedikit komentar terhadap pikiran Sartre yang penuh
dilema itu. Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat
eksistensi manusia: eksistensi manusia mendahului asensinya. Mulainya
manusia bereksistensi ialah sejak ia mengenal drinya dan dunia yang
dihadapinya. Itu berarti bahwa ia telah berkesadaran. Dari kesadaran
itu muncullah tangging jawab. Karena bertanggung jawab, maka manusia
harus memilih, menentukan, memutuskan. Itu dilakukannya sendirian.
Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu takut. Takut itu tidak jelas
objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi penderitaan.
Karena
kesadarannya itu manusia harus berbuat, berarti ia selalu berubah,
selalu mengalih, karena yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah
yang belum ada. Tentu saja manusia selalu mendobrak, berpindah,
meluncur terus. Manusia laksana mengejar bayangannya sendiri: semakin
cepet ia berlari, secepat itu pula bayangannya pergi. Manusia menjadi
mual, muak, seperti mau muntah. Manusia dipaksa bekerja, tetapi tanpa
harapan. Sial betul nasib manusia. Determinisme ditolak, tetapi
manusia dihukum berarti determinisme juga.
Kehidupan
bersama diperlukan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka bagi
manusia. Dilema lagi. Memang filsafat Sartre penuh—kalau bukan
seluruhnya oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre
disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat
diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme.
Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara menulis sebagai
berikut (Drijakara:89):
“Bagaimanapun
juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre bentrokan
dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat
pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak
tahan uji”
- Sumbangan Filsafat Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Eksistensialisme
telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu, terutama
dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh faham
materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia
itu pada hakekatnya adalah barang material belaka, yang walaupun
bentuknya lebih unggul, tetapi manusia itu adalah resultante dari
proses-proses kimiawi”.
Bagi eksistensialis, manusia itu tidak hanya sekedar material atau
kesadaran, tetapi lebih daripada itu.
- Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa dalam menentukan pilihannya.
- Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya.
- Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.
- Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini, karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah mengikari eksistensi siswa sebagai individu.
- Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi, estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.
- FENOMENOLOGI
- Pengertian
Secara
etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology)
berasal dari bahasa Yunani phaenomeno
dan
logos.
Phaenomenon
berarti tampak dan phaenen
berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti
kata, ucapan, rasio, pertimbangan (Muzairi,
2009:141).
Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai
kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak, atau ilmu tentang
gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran.
- Riwayat hidup tokoh
Pada
awalnya banyak ahli filsafat mendefinisikan fenomenologi hanya suatu
gaya berfikir bukan sebagai mazhab filsafat, adapula yang
mendefinisikan fenomenologi adalah suatu metode dalam mengamati,
memahami, mengartikan, dan juga sebagai suatu pendirian atau aliran
filafat. Akan tetapi dalam mazgab filsafat fenomenologi memiliki
asumsi-asumsi sebagai dasarnya.
Lalu
kemudian Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi berubah
menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang
mengusung tema Epoche-Eiditic
Vision danLebenswelt sebagai
sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada
dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi.
Edmund
Gustav Aibercht Husserladalah
seorang filosof yang lahir
di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia (Jerman) pada
tanggal 8 April 1859 dari keluarga yahudi (Hamersma, 1983:114). Di
universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan
filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina.
Awalanya ia seorang filosof ilmu pasti.
Setelah
Edmund Husserl berada di Wina ia tertarik pada filsafat dari
Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901,
kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia
juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, Amsterdam, dan
Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni
metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan
lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk
menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan
catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia (Hamersma, 1983:
114).
- Ajaran dan karya kefilsafatannya
Dalam
pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis
deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk
kesadaran dan pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung
seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga
menyarakan fokus utama filsafat hendaknya tertuju kepada penyelidikan
susunan kesadaran itu sendiri, sehingga akan nampaklah objek
kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia
kehidupan) atau Erlebnisse
(kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan
watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga
konseptual dari ilmu-ilmu empiris.( contohnya
orang bersin-bersin/meler.. pada dunia kedokteran bahwa orang
tersebut terkena flu.. tapi dalam fenomenologi hal tersebut belum
dikatan penyakit flu karena dalam fenomenologi harus di selidiki
dahulu,, apakah orang tersebut terkena virus flu atau yang lainnya...
dan ternyata orang tersebut flu karena dia menghirup merica)....
Husserl
mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche
berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan”
atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa
juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan
putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam
kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh
presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal
penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau
dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis
atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya,
menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
- Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan.
- Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
- Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
- Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan
menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada
hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Fenomenologi
menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala presuposisi
(peranggapan). Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu
sendiri. Dengan begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi
yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat
fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya
dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju
kepada bendanya yang sebenarnya (contohnya penyebab flu tadi apakah
penyebabnya karena virus atau karena merica). Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu.
Berikut
karya filsafat dari Edmund Husserl
- Logische Untersucgsuchugen I dan II(Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html)
- Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html)
- Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html)
Subjek
filsfat adalah seseroang yang berfikir/ memikirkan hakekat sesuatu
dengan sungguh-sungguh dan mendalam.
Edmund
Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and
Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia
kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar
bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat
pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya
memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti
halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi
alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).
Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para
saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula
impersonal (Muslih, 2005 : 35).
Dunia
kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia
sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis
tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah
unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni
unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia
menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep
dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya
kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu
dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat
diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen
ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ).
Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan
kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah
observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal
ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu.
Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia
kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat
menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat
berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi
dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah
lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan
makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun
pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas
(kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat
ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana
‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi
dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat
dan menghayati.
- Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini
Husserl
memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik
tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama
adalah: epoché dan eidetic
vision. Epoché merujuk
kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna
“pengurungan” (bracketing)
(ex. seorang yang meludahi Nabi Muhammad ketika beliau pulang solat
dari mesjid. kita menganggap bahwa orang tersebut jahat, tapi kita
lihat ke sisi yang lain, bahwa orang tersebut taat kepada ajarannya
bahwa ajarannya menganngap bahwa Nabi adalah seorang musuh). Ini
berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman
yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep
dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya
dilihat sebagai sebuah pengaruh yang merusak terhadap
hasil-hasilnya. Eidetic
vision berhubungan
dengan kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia
mengharuskan tindakan epoché,
memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah
fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi
dan refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk
memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa dibela
sebagai pengetahuan yang “objektif”.
Banyak
sekali sumbangsi fenomenologi terhadap kemajuan ilmu saat ini, salah
satunya yaitu terhadap gejala sosial atau ilmu sosial. Dalam peta
tradisi teori ilmu sosial terdapat beberapa pendekatan yang menjadi
landasan pemahaman terhadap gejala sosial yang terdapat dalam
masyarakat. Salah satu dari pendekatan yang terdapat dalam ilmu
sosial itu dalah fenomenologi. Fenomenologi secara umum dikenal
sebagai pendekatan yang dipergunakan untuk membantu memahami berbagai
gejala atau fenomena sosial dalam masyarakat.
Peranan
fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secara praxis
sebagai
jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap pola
perilaku seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat. Namun
demikian implikasi secara teknis dan praxis
dalam
melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utama dari kajian
fenomenologi sebagai perspektif. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih
merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian
penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas
kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khusus
dan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial.
Dengan
demikian, fenomenologi secara kritis dapat diinterpretasikan secara
luas sebagai sebuah gerakan filsafat secara umum memberikan pengaruh
emansipatoris (ranah pemikiran pembebasan (emansipatoris)
) secara implikatif kepada metode penelitian sosial. Pengaruh
tersebut di antaranya menempatkan responden sebagai subyek yang
menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya
pemahaman secara mendalam tentang pengaruh perkembangan fenomenologi
itu sendiri terhadap perkembangan ilmu sosial belum banyak dikaji
oleh kalangan ilmuwan sosial. Pengkajian yang dimaksud adalah
pengkajian secara historis sebagai salah satu pendekatan dalam ilmu
sosial.
Salah
satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalam memberikan perhatian pada
perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz. Ia mengkaitkan
pendekatan fenomenologi dengan ilmu sosial. Selain Schutz, sebenarnya
ilmuwan sosial yang memberikan perhatian terhadap perkembangan
fenomenologi cukup banyak, tetapi Schutz adalah salah seorang
perintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa dalam menangkap
segala gejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun
pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan
praktis sebagai sebuah pendekatan yang berguna untuk menangkap
berbagai gejala (fenomena) dalam dunia sosial.
Dengan
kata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan konseptual
antara pemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat
sosial dan psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung
dengan manusia pada tingkat kolektif, yaitu masyarakat. Posisi
pemikiran Alfred Schutz yang berada di tengah-tengah pemikiran
fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah pemikirannya
mengandung konsep dari kedua belah pihak. Pihak pertama, fenomenologi
murni yang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang
bernuansakan pemikiran metafisik dan transendental pada satu sisi. Di
sisi lain, pemikiran ilmu sosial yang berkaitan erat dengan berbagai
macam bentuk interaksi dalam masyarakat yang tersebar sebagai
gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-gejala dalam dunia sosial
tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus
of interest)
dari fenomenologi sosiologi.
Dalam
khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah satu
bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah
penelitian yang termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa
dalam kerangka penyusunan. Pendekatan model ini sedikit banyak
terpengaruh oleh aliran positivistik. Pemikiran kritis yang
selanjutnya muncul adalah bagaimana perkembangan fenomenologi sebagai
sebuah pendekatan dalam ilmu sosial mensejajarkan posisinya. Dengan
kata lain, pemikiran kritis dari tinjauan historis hermeneutis yang
akan ditinjau dari tulisan singkat ini sedikit banyak juga akan
membicarakan perjalanan fenomenologi sebagai sebuah pendekatan untuk
secara akademis memperjuangkan kepentingan emansipatorisnya.
Implikasi
dari wujud perjuangan emansipatoris tersebut termanifestasi dalam
inovasi pemikiran Edmund Husserl tentang fenomenologi. Pemikirannya
meletakkan tradisi berpikir fenomenologi yang bersifat transendental.
Pemikiran transendental ini dibangun berdasarkan konstruksi berpikir
yang terpengaruh logika positivistik seperti aritmatika dan geometri.
Alasan penggunaan logika berpikir fisik positivistik bagi Husserl
hanya dijadikan jalan menuju ke pemikiran metafisik transendental.
Tradisi pemikiran ini akhirnya diteruskan oleh Martin Heidegger dan
Max Scheler yang juga akan dipaparkan pada bagian selanjutnya sebagai
bahan yang memperkaya perspektif pemikiran fisafat fenomenologi.
Pemikiran-pemikiran fenomenologi Schutz terutama banyak dilandasi
oleh pemikiran Husserl. Dasar pemikiran Husserl dari fenomenologi
yang menggunakan unsur metafisik fundamental merupakan kekuatan
legitimasi sebagai landasan berpikir dari penerus metodologi ini
(Tevenaz, 1962:38).
REFERENSI
Aceng,
dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Prenada Meda Grup.
Hamersma,
Herry. 1983. Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern.Jakarta:
Gramedia
Magnis
Suseno, Franz., 2000. 12
Tokoh Etika Abad ke-20.
Yogyakarta:
Kanisius.
Muzairi.
2009. Filsafat
Umum. Yogyakarta:
Teras.
Solihin.
2007. Perkembangan
Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung:
Pusta Setia
Tafsir,
A.2001.
Filsafat Umum.
Bandung: Rosda.
Thevenaz,
Pierre.1962. What
is Phenomenology? Chicago:
Quadrangle Books
Yanur,
Fadli. 2008. Hakekat
Pragmatisme.
Tersedia pada
(http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html.
diakses
pada tanggal 28-10-2014)